Review Film F1 (2025)
"2,5 jam seolah terlewat begitu saja dengan padatnya cerita dan berbagai adegan balapan yang intens sepanjang film. F1 mampu membawa penonton kepada pengalaman sinematik yang tak terlupakan".
Rasanya gua tidak mau mengulangi kesalahan yang sama 3 tahun lalu, dimana gua tidak sempat menyaksikan filmnya Joseph Kosinski di bioskop yang berjudul Top Gun: Maverick. Kali ini gua akhirnya menonton film terbarunya yang berjudul F1 di bioskop. Dan yang lebih serunya lagi, gua menyaksikan film ini di IMAX. Sebuah pengalaman menonton yang memukau.
F1 bercerita tentang seorang veteran balap bernama Sonny Hayes (Brad Pitt) yang direkrut kembali oleh rekan lamanya, Ruben Cervantes (Javier Bardem) untuk menyelamatkan tim F1 yang hampir bangkrut, APXGP. Kembalinya Hayes ke ajang F1 setelah 30 tahun memberi keraguan besar kepada tim dan seluruh dunia. Terlebih lagi, ia kini harus bersaing sekaligus bekerja sama dengan rekan sesama pembalapnya yang jauh lebih muda dan narsis bernama Joshua Pearce (Damson Idris). Ajang balapan ini menjadi pembuktian keberhasilan sekaligus taruhan akan kegagalan yang lebih besar bagi Hayes setelah kecelakaan fatalnya dalam sirkuit 30 tahun yang lalu.
Film ini dibuka dengan menampilkan Hayes dan lintasan balap yang dicintainya. Memberi penonton informasi mengenai betapa mahirnya Hayes dalam menaklukan lawan-lawannya di sirkuit. Trauma besar Hayes juga disuguhkan pada montase awal film yang memberi penonton gambaran akan cacatnya sosok protagonis yang dijagokan tersebut. Hal inilah yang menjadi core emosional dari sosok Sonny Hayes yang terus dikembangkan sepanjang film.
Sebagai seorang yang tidak mengikuti F1 di dunia nyata, rasanya gua perlu sedikit beradaptasi untuk mencerna bagaimana sistem olahraga ini bekerja. Namun tak sesulit yang gua kira, film F1 dapat memberi kita informasi sepadat dan sesingkat mungkin untuk memahami semuanya, mulai dari mobil, pembalap, tim, hingga sistem balapan. Setelah 30 menit awal, gua sudah bisa mengikuti alur film (khususnya mengenai balapan) dengan mudah.
Membahas mengenai teknis, film F1 memang mengajak penonton untuk melintasi arena balap secara nyata dengan sinematografi yang apik dan teknis yang sangat keren. Gerak kamera yang dinamis dengan banyak type of shot mampu mendongkrak intensitas ketegangan dari tiap-tiap sequence balapan yang ada di film ini. Selain sinematografi, editing dengan pacing cepat disertai musik dan sound design yang memukau mampu membawa kita untuk tergugah sepanjang film. Bahkan adegan biasa-biasa saja bisa terlihat megah dengan sentuhan musik dari seorang Hanz Zimmer.
Kemeriahan ajang balap F1 ditunjang dengan banyak aspek, mulai dari setting, kostum, properti, hingga kameo dari pembalap-pembalap F1 asli yang muncul di film ini. Selain itu chemistry dari akting Brad Pitt dan Javier Bardem (sorry, tapi gua lebih suka mereka daripada relasi Pitt dengan Idris) juga menambah kekuatan emosional antar karakternya. Meskipun seharusnya yang dihighlight adalah bagaimana persaingan antara Hayes dan Pearce dalam memperebutkan posisi pembalap nomer satu APXGP. Namun entah kenapa konflik yang muncul di antara keduanya justru hanya sepintas layaknya korek api yang nyala dan padam tanpa adanya klimaks yang berarti sepanjang film berlangsung.
Di tahun 2019, gua masih ingat ketika publik memuji bentuk fisik Brad Pitt yang masih prima di usia senjanya saat tampil di film Once Upon a Time... in Hollywood (2019). Kini, ia kembali membuktikan pada dunia bahwa ia layak dipuja sebagai seorang aktor yang kharismatik sekaligus totalitas dalam menjaga bentuk fisik di setiap filmnya. Jutaan pasang mata tentunya terkesima melihat bagaimana kakek yang satu ini masih mencuri perhatian di layar bioskop. Rasanya, nyawa dari film F1 juga tersimpan besar pada sosok Brad Pitt.
Selain Hayes, Ruben, dan Pearce, film F1 juga menyoroti salah satu karakter penting yang berkontribusi dalam cerita, baik dari segi teknis balapan maupun emosional (walaupun tidak banyak), yaitu Kate McKenna (Kerry Condon) yang jadi sosok wanita utama dalam tim APXGP. Hadirnya karaker ini membuat cerita terasa balance meskipun masih banyak didominasi oleh karakter pria. Kurangnya eksplorasi karakter antar pembalap F1 lain dengan Sonny Hayes maupun Joshua Pearce merupakan salah satu titik lemah di film ini. Meskipun ya kita tahu bahwa fokus utama yang mau ditampilkan penonton adalah keseruan balapan F1, tapi tetap saja hal tersebut penting untuk menambah kedalaman cerita.
2,5 jam seolah terlewat begitu saja dengan padatnya cerita dan berbagai adegan balapan yang intens sepanjang film. F1 mampu membawa penonton kepada pengalaman sinematik yang tak terlupakan. Minim CGI, atraksi real, komposisi audio visual yang memanjakan mata dan telinga, serta bintang film yang mempesona. F1 akan jadi pemuas dahaga para penonton yang mencari katarsis di layar perak di tahun 2025 ini. Bravo Joseph Kosinski!.
Terima kasih telah membaca review ini. Follow gua di Instagram: @im.amru dan subscribe channel Youtube gua: Daffa Amrullah.
Comments
Post a Comment