REVIEW FILM KILLERS OF THE FLOWER MOON (2023)

 Review Film Killers of the Flower Moon (2023)

Pertama kalinya gua menyaksikan karya-karyanya Martin Scorsese adalah ketika gua duduk di bangku SD. Gua ingat saat menonton film Shutter Island (2010) di bioskop Trans TV pada malam hari, sebuah film yang sangat menegangkan, penuh misteri, dan mengejutkan bagi anak seusia gua waktu itu. Selain Shutter Island, gua juga menonton salah satu MV dari Michael Jackson yang berjudul Bad yang disutradarai oleh beliau juga. Setelah lebih dari sepuluh tahun lamanya, akhirnya gua bisa menyaksikan salah satu karyanya di bioskop secara langsung, dimana ia kembali bekerja sama dengan Leonardo DiCaprio pada film Killers of the Flower Moon (2023).

3 Jam 26 menit bukanlah waktu yang terlalu lama untuk menikmati film terbaru karya sutradara kawakan yang satu ini. Killers of the Flower Moon merupakan mahakarya sekaligus pemuas dahaga para pecinta sinema di dunia pada tahun 2023. Di usia yang tak lagi muda (atau bisa disebut sudah sangat tua), Scorsese mampu membuktikan bahwa ia masih garang dan tajam dalam menuangkan gagasan ke layar perak. Oke, mari kita bahas karya terbaru sutradara sepuh yang satu ini lebih mendalam lagi...

Killers of the Flower Moon bercerita mengenai sebuah tragedi yang terjadi pada suku Osage, salah satu suku pribumi Amerika yang dibantai oleh para orang kulit putih atas dasar minyak. Film ini bertema keserakahan akan kekuasaan dan kekayaan, yang diselingi dengan kisah mafia dan kriminal lainnya ala Martin Scorsese. Dengan menggaet Leonardo DiCaprio dan Robert De Niro yang keduanya merupakan aktor kesayangan Scorsese, film ini sukses dalam menyampaikan sebuah kisah pilu mengenai pembunuhan ras, invasi, dan manipulasi dengan sangat elegan sekaligus mengerikan. Killers of the Flower Moon akan mengajak penonton untuk membuka mata terhadap betapa kejamnya manusia terhadap manusia lainnya demi meraup harta sebanyak-banyaknya.

Tak diragukan lagi, dari segi storytelling Scorsese bersama Eric Roth mampu merajut sebuah cerita drama crime yang memikat. Dengan banyaknya tokoh yang terlibat (yang merupakan salah satu ciri khas film Scorsese juga), film ini menghadirkan sebuah kisah yang diangkat dari kejadian nyata secara kompleks dalam durasi panjang. Scorsese memulai dengan menghadirkan sebuah situasi netral yang mulai bermasalah pada kehidupan suku Osage, berlanjut pada tahap strategi tipu daya, hingga dampak akhir yang didapatkan oleh protagonis serta orang-orang sekitarnya sebagai closure yang apik. Ia juga menyilangkan beberapa peristiwa kriminal dengan adegan-adegan wawancara investigasi yang akan memberikan perspektif berbeda dari tiap tokoh yang ada.

Mengingat Martin Scorsese adalah sutradara senior di Hollywood yang sudah berkarya lebih dari setengah abad, rasanya kita patut mengapresiasi lebih Killers of the Flower Moon. Scorsese tidak malu untuk mengadaptasi beberapa elemen-elemen film baru sebagai inspirasinya dalam menciptakan film ini. Terbukti dengan terlihatnya gambar-gambar gore dan balutan ritual tradisi ala suku Osage yang dikemas mirip dengan film Midsommar (2019), membuat film ini terasa lebih mencekam ketimbang sekedar bunuh membunuh dengan pistol seperti karya Scorsese yang biasanya. Killers of the Flower Moon akhirnya nggak cuma jadi film drama crime biasa, melainkan juga pesan langsung tentang kemanusiaan melalui kekuatan cinema.

Menakjubkan sekali ketika melihat Leonardo DiCaprio dan Robert De Niro berada dalam satu frame. Keduanya memberikan kualitas akting yang bold dengan porsinya masing-masing. Menurut gua DiCaprio berhasil membawakan karakter Ernest dengan segala kompleksitas keraguan hingga kekhawatirannya. Ia tentu saja akan mendapatkan nominasi Oscar tahun depan, dan bersaing dengan salah satu kandidat terkuat tahun ini yaitu Cillian Murphy yang berperan sebagai Oppenheimer. 

Sementara itu De Niro jauh lebih memukau ketimbang saat kolaborasi terakhirnya dengan Scorsese di film The Irishman (2019). Kita tahu bahwa De Niro sudah sepuh juga, dan Irishman memaksanya untuk melakukan hal-hal yang mungkin sudah lewat masanya sehingga ia terlihat sangat kaku saat adegan muda yang dibentuk dengan bantuan CGI. Namun di film ini ia terlihat sangat garang, deadly silent, bak serigala berbulu domba yang siap menyerang dengan segala kelicikannya. Peran-peran seperti inilah yang cocok untuk dilakoni oleh De Niro di penghujung usianya, dengan gayanya yang kharismatik dan dingin, beliau akan sangat pas memerankan "sosok di balik layar/dalang" dari segala peristiwa kejahatan.

Tapi, di balik film-film Scorsese yang menyoroti kompleksitas kehidupan dan emosional pria, terdapat satu sosok wanita yang mencuri perhatian. Kali ini ada Lily Gladstone yang berperan sebagai Mollie. Di samping nama besar De Niro dan DiCaprio, Gladstone justru tampil dengan sangat menonjol dalam membawakan peran wanita suku Osage yang keluarganya dibantai pada film ini. Transformasi emosinya sejak awal hingga ending film akan membuat penonton merasa terpikat sekaligus simpati terhadapnya.

Dari segi teknis, Killers of the Flower Moon akan bermain melalui banyak gambar-gambar indah di sebidang tanah yang penuh kekayaan dan pertumpahan darah. Scorsese juga memacu ketegangan penonton dan membangun antisipasi melalui gaya editing pada strategi-strategi dan pengungkapan kejahatan-kejatahan yang ditampilkan sepanjang film. Beberapa adegan juga terasa surealis karena berkaitan erat dengan kepercayaan setempat. Dari aspek suara, musik yang dihadirkan sebagai pengiring peristiwa-peristiwa di film ini menggunakan instrumen tradisional pribumi Amerika yang pacing dan feelnya hampir mirip dengan film Midsommar.

Penutup untuk review ini adalah Martin Scorsese mungkin menjadi kontroversi beberapa tahun ke belakang akibat statementnya mengenai film-film superhero yang menginvasi bioskop tidak bisa dikategorikan sebagai sinema dan hanya sekedar taman hiburan. Tapi ia dapat membuktikan pada dunia bahwa kata-katanya bukanlah bualan belaka yang semata-mata dilontarkan sebagai seorang senior. Melalui Killers of the Flower Moon Scorsese kembali membuka mata kita untuk menikmati sinema yang sesungguhnya, tanpa harus mengeluh akan durasi yang panjang. Karena seberapa lamapun film itu, ketika semua aspeknya digarap dengan sangat apik, maka penonton tak akan beranjak dari kursinya sama sekali.

Killers of the Flower Moon bukan hanya sekedar film untuk merayakan sinema yang sesungguhnya, melainkan surat terbuka dari Martin Scorsese untuk dunia sebagai pengingat bahwa ada sebuah tragedi kemanusiaan yang patut dikenang agar tidak terulang. Ada sebuah kejahatan atas dasar keserakahan manusia, diskriminasi dan genosida, dan tumpulnya hukum yang ada. Sekali lagi beri tepuk tangan yang meriah untuk Martin Scorsese dengan film Killers of the Flower Moon yang wajib kalian tonton di bioskop.

Terima kasih telah membaca review ini, jangan lupa follow Instagram gua @im.amru dan subscribe Youtube gua: Daffa Amrullah.


Comments