REVIEW FILM TALK TO ME (2022)

REVIEW FILM TALK TO ME (2022)

Film Talk to Me (2022) adalah film horror dari A24 asal Australia yang cukup mencuri perhatian gua kali ini. Karena biasanya gua tidak terlalu menyukai film horror dengan formula yang klise dan repetitif yang cuma jadi angin lewat di bioskop. Film Talk to Me menurut gua berhasil bersanding dengan film-film horror modern lainnya seperti Hereditary (2018), The VVitch (2015), dan The Babadook (2014) sebagai inovasi baru dalam menampilkan kengerian film horror dewasa ini. Nah langsung aja simak ulasan dari gua terkait film ini.

Talk to Me bercerita tentang sekumpulan anak muda Australia yang menemukan cara untuk kerasukan dengan medium sebuah potongan tangan yang dibalsam. Aktifitas ini mereka jadikan sebuah tren layaknya pesta rumahan dan jadi ajang seru-seruan untuk didokumentasikan dan dipublikasi ke sosial media. Suatu malam, aktifitas yang biasanya menyenangkan ini malah berbalik menjadi bencana dan menyeret mereka ke dalam sebuah masalah serius. Namun dampak yang paling signifikan dirasakan oleh salah seorang dari mereka bernama Mia.

Mengangkat kehidupan anak muda masa kini dan isu mengenai kesehatan mental khususnya depresi, film ini memainkan backstory dari tokoh Mia selaku protagonis untuk menghadirkan berbagai obstacle sepanjang film. Mia yang diceritakan depresi karena kematian ibunya yang overdosis, terobsesi dan kerap dihantui oleh bayang-bayang ibunya semenjak ia memainkan permainan "Talk to Me" ini. Walaupun formula cerita horror dengan masalah "arwah jahat membisikkan kebohongan dan dipercaya oleh manusia" sudah biasa dipertontonkan, namun gua rasa Talk to Me memiliki cara eksekusi yang berbeda ketimbang film horror lain. Film ini cenderung didominasi oleh perasaan-perasaan depresi Mia, rasa kesendirian, dan perspektif dari dirinya ketimbang menyuguhkan jump scare setan-setanan yang terlalu banyak.

Sejak sequence awal penonton sudah diperlihatkan mengenai bagaimana relasi keluarga dan masalah kesehatan mental menjadi topik serius pada film ini. Bahkan pada awal permainan "Talk to Me" dipertontonkan rasanya unsur supranatural hanya dianggap hal remeh dan cuma jadi bahan bercandaan kelompok anak muda ini. Lalu sepanjang film kita akan diajak untuk menyelami bagaimana trauma dan depresi Mia menuntunnya ke berbagai kejadian aneh yang dibalut unsur mistis yang mencekam. Namun lagi-lagi, poin yang gua tangkap hingga akhir film adalah "Orang-orang cenderung mengabaikan individu yang depresi tersebut, menganggap segalanya hanyalah halusinasi konyolnya semata, dan mereka berbahaya".

Dari segi teknis, rasa terpisah dan kesendirian Mia sudah diperlihatkan saat awal kemunculannya di film. Bagaimana gambar menampilkan dirinya secara terpisah, dengan fokus hanya dipusatkan pada wajahnya sementara sekelilingnya dibuat blur seolah-olah sulit dijangkau. Mendukung cerita yang dituturkan Mia mengenai bagaimana depresi menghantuinya, penonton juga kerap kali diajak melihat bagaimana sosok "ibu" yang menjadi traumanya sering muncul dalam berbagai kesempatan. Ia hadir melalui pantulan kaca, tersibak oleh ketidakjelasan, dan terkadang hanya berupa bayang-bayang visual maupun audio yang menggentayangi Mia dan membelokkan kewarasannya perlahan-lahan.

Gua sangat mengapresiasi film Talk to Me, karena ia mampu mendobrak formula-formula klise mengenai film horror. Film ini bisa menghadirkan ketakutan melalui gangguan mental yang dikolaborasikan dengan unsur supranatural, hal yang lebih relatable untuk era sekarang ketimbang mengangkat cerita mengenai desa terkutuk, ritual pemujaan iblis, klenik untuk mencapai kekayaan, ataupun pengusiran setan. Film ini seolah-olah dapat membuktikan bahwa film horror tidak selamanya identik dan terkait dengan unsur keagamaan serta budaya daerah yang dianggap mistis. Pada akhirnya semua ketakutan, imajinasi, dan ekspektasi dikembalikan pada pemikiran dan kewarasan masing-masing individu.

Lagi-lagi film horror Australia mampu memberikan sentuhan baru yang menyegarkan bagi para penikmat film horror. Ya meskipun gua bukan penggemar film-film bergenre ini tapi gua bisa memberikan dua jempol untuk film Talk to Me. Semoga saja industri film dalam negeri mampu mencontoh hal-hal baik seperti ini ketimbang terlalu over proud dengan horror-horror formulatif mereka yang biasa merajai box office dalam negeri.

Terima kasih telah membaca review ini, jangan lupa berikan pendapatmu di kolom komentar. Follow Instagram gua @im.amru dan subscribe channel Youtube gua: Daffa Amrullah.


Comments