REVIEW FILM PHANTOM THREAD (2017)

REVIEW FILM PHANTOM THREAD (2017)

Seumur hidup gua sudah menyaksikan beberapa karya-karya dari Paul Thomas Anderson, seperti There Will Be Blood (2007), The Master (2012), Inherent Vice (2014), Phantom Thread (2017), dan Licorice Pizza (2021). Kali ini gua akan membahas film favorit yang menjadi urutan ketiga dari beberapa film Paul Thomas Anderson yang pernah gua tonton, yaitu Phantom Thread. Phantom Thread adalah sebuah film drama romance sekaligus historikal yang dibintangi oleh salah satu aktor paling cemerlang abad ini yang pernah membawa pulang tiga piala Oscar sebagai best actor in a leading role, siapa lagi kalau bukan Daniel Day-Lewis. Film ini juga menjadi film terakhirnya sebelum menyatakan diri pensiun dari dunia akting.

Phantom Thread bercerita tentang seorang pembuat gaun ternama bernama Reynolds Woodcock (Daniel Day-Lewis) yang kehidupannya penuh dengan ketertiban. Dirinya sangat perfeksionis dan terobsesi dengan kesempurnaan dalam menjalani profesinya tersebut. Suatu hari ia bertemu dengan wanita muda yang penuh tekad dan semangat bernama Alma (Vicky Krieps), yang akhirnya menjadi asisten sekaligus istrinya. Sifat Alma yang penuh kebebasan, memberontak, dan periang sangat kontras dengan Reynolds. Hal ini membuat ketegangan di antara keduanya pasang surut seiring berjalannya waktu.

Film Phantom Thread adalah salah satu film paling modis yang pernah gua tonton. Selain karena bercerita mengenai sosok pembuat gaun, film ini juga sangat menekankan betapa fashion (terutama gaun) adalah faktor penting dalam film yang bahkan menjadi penggerak cerita. Sejak awal kita sudah diperlihatkan mengenai bagaimana protagonis dan tokoh-tokoh lainnya berkecimpung di rumah mode, berkomitmen, dan terobsesi dengan gaun-gaun tersebut. Gaun di film Phantom Thread bukan hanya sekedar pakaian belaka yang digunakan oleh manusia, melainkan simbol kehormatan, harga diri, bahkan kemuliaan yang nilainya tidak main-main.

Dalam film ini penonton dapat melihat bagaimana seorang manusia dikuasai oleh obsesi, ambisi, dan tekad yang kuat. Baik Reynolds maupun Alma sama-sama memiliki ketiga hal tersebut untuk mencapai tujuannya. Reynolds dengan sifat perfeksionisnya percaya bahwa pekerjaannya adalah hal utama yang tak bisa diganggu-gugat, memiliki kedudukan, dan terikat padanya. Sementara Alma percaya bahwa ia bisa menaklukkan Reynolds dengan caranya sendiri agar ia bisa luluh kepadanya.

Sebuah kisah cinta yang "beracun" ini kerap kali bolak balik menghadapi konflik sepanjang film. Kadang ada masa-masa romantis di mana keduanya saling mesra dan mencintai satu sama lain, dan setelahnya situasi kembali memanas karena ada dinding di antara ego mereka masing-masing. Baik Reynolds dan Alma kadang saling mengganggu dan terganggu dengan sikap, sifat, dan kebiasaan dari kedua tokoh yang sama-sama kompleks tersebut. Hal ini juga dipengaruhi dari berbagai faktor, seperti latar belakang, kisah hidup yang rumit, dan prinsip serta selera keduanya yang berbeda.

Secara cerita film ini cukup menarik layaknya film-film Paul Thomas Anderson yang lain. Sejauh ini dari beberapa film karyanya gua bisa menangkap beberapa tema yang kerap kali ia angkat, yaitu obsesi, kisah cinta yang tak biasa, dan kekuasaan antar manusia. Phantom Thread mencakup ketiga aspek tersebut. Di mana obsesi diperlihatkan secara gamblang pada sosok Reynolds melalui cara hidupnya, cinta yang tak biasa ditampilkan melalui serangkaian pasang surut asmara Alma dan Reynolds, serta kekuasaan antar manusia ditunjukkan dengan menarik status sosial kedua tokoh pada film dan profesinya di rumah mode tersebut.

Dari segi teknis yang paling menonjol memanglah dari segi kostum. Penonton akan melihat banyak gaun yang dipakai silih berganti, proses pembuatannya, bahan-bahan, hingga seberapa berharganya mereka bagi protagonis. Kausalitas pada film ini juga dipengaruhi oleh gaun. Dan tidak hanya kostum, tata artistik film ini juga ciamik, yang mana sebagai film periodik, mampu membangkitkan suasana London di tahun 1950an dengan suasana gloomynya. 

Tapi yang tak kalah menarik adalah aspek sinematografi pada film ini, di mana terjadi absen pada credit Director of Photography. Setelah gua baca-baca beberapa artikel, ternyata film ini tidak memiliki sinematografer. Gambar-gambar indah pada film Phantom Thread dihasilkan oleh kolaborasi dan eksperimentasi antara Paul Thomas Anderson, Camera Operator, dan Gaffernya. Bagi gua hal ini merupakan kejadian langka dan cukup mencengangkan karena selama menonton film ini gua sangat terpukau dengan keindahan shot-shotnya dan menikmati setiap detailnya.

Phantom Thread memiliki gambar indah dengan grain yang sangat kentara karena direkam dengan kamera film. Hal ini menambah kesan jadul dengan warna yang khas film-film lama sesuai periode cerita. Paul Thomas Anderson sering menggunakan berbagai close up untuk memperlihatkan detail-detail objek dan keterkaitannya ekspresi subjek di film ini. Cara ini diperkuat dengan penataan sound design yang mendukung bagaimana penonton bisa merasakan kegelisahan sosok Reynolds yang sangat perfeksionis ketika ia terganggu dengan situasi di sekelilingnya. 

Selain itu sinematografi pada film Phantom Thread juga sering bermain pada foreground dan background. Ini menentukan siapa yang sedang disorot, ditinggalkan, dominan, dan didominasi pada sebuah kejadian maupun percakapan. Tak hanya itu Paul Thomas Anderson juga sering memasang foreground sebagai frame yang mengurung tokoh-tokoh dalam sebuah ruang gerak tertentu dan pembatas yang mewakili perasaan mereka. Dan secara sadar ataupun tak sadar, lagi-lagi penonton akan merasakan kesan berjarak dan batas jelas antara tokoh Reynolds dan Alma di film ini.

Bagi gua film Phantom Thread bukanlah yang terbaik dari Paul Thomas Anderson. Tetapi gua tetap merasa terpuaskan dengan hal-hal baru yang selalu gua temukan pada film-filmnya. Ia selalu bisa memberikan kepada penonton sebuah situasi yang tak biasa, serta bagaimana keunikan tokoh-tokohnya dalam menyampaikan suatu pesan ataupun perasaan di film-film tersebut. Ditambah lagi Daniel Day-Lewis yang tak pernah absen untuk diberi tepuk tangan serta pujian. 

Aktingnya yang kompleks dengan perubahan aksen, gaya bicara, hingga gerak tubuhnya, mampu menyihir penonton untuk menyelami tokohnya dengan mudah. Hal ini adalah bentuk nyata totalitasnya sebagai seorang aktor jempolan yang tidak main-main. Salut buat Daniel Day-Lewis dan film terakhirnya ini.

Terima kasih telah membaca review ini. Berikan juga komentar ataupun pendapat kalian terkait film Phantom Thread di kolom komentar. Jangan lupa bagikan review ini ke teman-teman kalian agar mereka bisa mendapatkan konten menarik di blog ini. Follow juga instagram gua @im.amru dan subscribe channel Youtube gua: Daffa Amrullah.

Comments