MENCURI RADEN SALEH:
SENI DAN PERLAWANAN DALAM LUKISAN DAN FILM INDONESIA
Sejak puluhan ribu tahun lalu, nenek moyang manusia telah
melakukan salah satu aktifitas berkesenian yang kita kenal sekarang dengan seni
lukis. Seni lukis merupakan bagian dari seni rupa yang terwujud melalui karya
dua dimensi pada permukaan datar.
Menurut Soedarso
SP, pengertian seni lukis merupakan aktivitas untuk mengolah kegiatan medium
dua dimensi atau permukaan datar dari suatu objek 3 dimensi. Dengan melukis,
seseorang bisa mendapatkan kesan tertentu yang melibatkan sebuah emosi,
ekspresi, dan gagasan penuh terhadap sesuatu. Soedarso SP juga menekankan bahwa
seni lukis bukanlah semata-mata tentang meniru objek asli, tetapi lebih banyak
tentang mengekspresikan ide dan perasaan seniman.
.png)
Salah satu seniman lukis Indonesia yang karya-karyanya
penting dan banyak diperbincangkan adalah Raden Saleh, pelopor seni lukis
modern pertama di Indonesia atau dahulu bisa dibilang Hindia Belanda. Raden
Saleh merupakan pelukis asal Jawa yang berhasil mendapat privilege untuk belajar melukis ke Eropa pada masa kolonial
Belanda. Lukisan-lukisannya beraliran romantisisme yang terinfluence dari pelukis Eugène Delacroix. Aliran ini berupaya
menampilkan lukisan yang indah dan fantasitik, dengan muatan kontennya berupa
sejarah, tragedi, maupun pemandangan alam.
Karya-karya Raden Saleh banyak
menyoroti tentang hubungan manusia dan alam. Karenanya objek yang ditampilkan
didominasi oleh aktifitas manusia di area terbuka yang menyuguhkan pemandangan
dari berbagai daerah, beserta interaksinya dengan hewan-hewan yang kerap kali
juga menjadi objek pada lukisannya. Karya-karyanya bergaya Eropa, namun isi
dari kontennya sangatlah Jawa.
Penangkapan Pangeran Diponegoro (1857)
Salah satu karya terpenting dari Raden Saleh adalah sebuah
lukisan berjudul Penangkapan Pangeran Diponegoro. Lukisan ini merupakan lukisan
sejarah pertama di Asia Tenggara sekaligus satu-satunya karya Raden Saleh yang
dibuat berdasarkan sejarah. Penangkapan Pangeran Diponegoro merupakan reaksi
darinya terhadap lukisan berjudul Penyerahan Pangeran Diponegoro kepada Jendral
De Kock yang dilukis oleh seniman Belanda bernama Nicolaas Pieneman.
Penangkapan Pangeran Diponegoro menggambarkan suasana saat sosok pemimpin
perang Jawa yang mahsyur itu dijebak dan ditangkap oleh jendral de Kock pada 28
Maret 1830 yang sekaligus menandai berakhirnya perang Jawa yang telah
berlangsung lama dan sangat merugikan bagi pihak Belanda.
Sebagai sosok pribumi, Raden Saleh memiliki interpretasinya
sendiri terhadap peristiwa yang terjadi di tanah airnya itu dan karya Pieneman
yang menyoroti kejadian bersejarah tersebut, setelahnya ia menuangkan gagasan,
emosi, dan ekspresinya yang mengkritisi kolonialisme beserta kelicikan pihak
Belanda ke dalam lukisan ini pada tahun 1857.

Penangkapan Pangeran Diponegoro merupakan lukisan historis
sekaligus mahakarya dari Raden Saleh yang menginspirasi sebuah film yang rilis di
tahun 2022 berjudul Mencuri Raden Saleh. Film ini disutradarai oleh Angga
Dwimas Sasongko dan dibintangi beberapa aktor dan aktris muda seperti Iqbaal
Ramadhan, Angga Yunanda, Aghniny Haque, Umay Shahab, Ari Irham, dan Rachel
Amanda. Film Mencuri Raden Saleh bercerita mengenai seorang pemalsu lukisan
bernama Piko yang ingin mendapatkan uang untuk membebaskan ayahnya dari penjara
dengan mencuri lukisan yang menjadi national
treasure yaitu Penangkapan Pangeran Diponegoro yang disimpan di Istana
Presiden. Dalam menjalankan rencananya, ia membentuk sebuah komplotan yang
terdiri dari beberapa anak muda yang ahli dalam bidangnya masing-masing.
Mencuri Raden Saleh merupakan film action drama bertema perampokan yang mengangkat lukisan sebagai
objek curiannya. Pada film ini penonton diperkenalkan dengan seorang protagonis
bernama Piko yang berprofesi sebagai mahasiswa sekaligus pelukis. Piko banyak mengetahui
mengenai pelukis terkenal di Indonesia dan karya-karyanya. Selain Raden Saleh, beberapa
nama seniman lukis sempat disebutkan olehnya dalam film ini, di antaranya;
Widajat, Lee Man Fong, Jeihan, Sunaryo, Suharmanto, Supriadi, Hendra Gunawan,
Sudjojono, dan Agus Suwage.

Mulanya Piko CS hanya diberi misi untuk membuat replika dari
lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro, namun ternyata mereka dijebak untuk
menukarkan replika tersebut dengan lukisan aslinya oleh seorang mantan presiden
bernama Permadi. Motif dari Permadi selaku antagonis untuk mendapatkan lukisan
Penangkapan Pangeran Diponegoro di film ini jelas disebutkan karena dendam.
Permadi merasa negara telah merenggut karir politiknya dan Rama, putra
mahkotanya, karena dirinya harus mundur dari jabatannya sebagai presiden demi
melindungi kasus suap anaknya yang telah terekspos oleh media agar tidak
tersebar luas. Permadi yang terpaksa mengorbankan jabatannya berniat untuk
membalas dendam dengan mencuri harta berharga negara melalui Piko CS sebagai
umpannya.
Seni lukis dan film memang saling memiliki keterkaitan satu
sama lain, keduanya sama-sama merupakan bentuk seni visual. Film merupakan bentuk
kesenian yang mulanya juga berakar dari ditemukannya teknologi pengambilan
gambar atau fotografi sebagai sarana untuk menangkap momen dan mengabadikannya.
Film dibuat dari rangkaian gambar yang disusun sedemikian rupa sehingga
menciptakan ilusi gerak. Namun seiring berjalannya waktu dan kecanggihan
teknologi yang terus berkembang, film tidak hanya sekedar diperuntukkan sebagai
sarana mengabadikan momen, namun juga menciptakan sebuah cerita yang berisi
ekspresi dan gagasan tertentu dari senimannya, film juga menggunakan gambaran
dan simbolisme yang telah berkembang selama beribu-ribu tahun lamanya layaknya
seni lukis.
At Eternity's Gate (2018)
Keterkaitan seni lukis dan film dapat dilihat dari berbagai
hal baik dari konteks maupun konten yang dibuat oleh para pembuat film.
Beberapa menciptakan karya untuk mengangkat riwayat hidup pelukis maupun
lukisan yang pernah dibuatnya, sebut saja film At Eternity’s Gate (2018) yang
menyuguhkan perjalanan hidup Vincent van Gogh, dan juga Frida Kahlo pada film Frida
(2002). Sebagian pembuat film lainnya membuat karya dengan menghadirkan visual scene maupun shot dari referensi lukisan terkenal yang mengilhami mereka,
seperti Martin Scorsese yang menampilkan sebuah scene pada film Shutter Island (2010) dengan referensi lukisan The
Kiss (1907-1908) karya Gustav Klimt, Inherent Vice (2014) nya Paul Thomas
Anderson dengan lukisan The Last Supper (1495-1498) karya Leonardo da Vinci,
dan Marie-Antoinette (2006) nya Sofia Coppola dengan Napoleon Crossing the Alps
(1801-1805) karya Jacques-Louis David.
.png)
.png)
Selain keduanya, beberapa pembuat film juga menjadikan
lukisan sebagai objek yang muncul dan menjadi salah satu dari unsur mise en scène
yang menjadi penggerak aksi ataupun cerita pada film, contohnya adalah film Tenet (2020) karya
Christopher Nolan yang menampilkan lukisan Francisco Goya, dan Bean (1997) yang
menghadirkan lukisan Whistler’s Mother (1871) karya James Abbott McNeill
Whistler. Sama seperti keduanya, lukisan pada film Mencuri Raden Saleh menjadi sebuah objek yang menggerakkan aksi dan cerita pada film ini. Selain itu, meskipun film Mencuri Raden
Saleh tidak berkisah mengenai sosok Raden Saleh, dan dalam filmnya juga tidak
ada shot atau scene yang dibuat berdasarkan referensi lukisan Penangkapan
Pangeran Diponegoro, penonton dapat menemukan kesamaan tema yang terkandung
dalam lukisan dan filmnya, yaitu pengkhianatan dan perlawanan.
Secara historis, Penangkapan Pangeran Diponegoro didasari
oleh peristiwa diundangnya Pangeran Diponegoro oleh Letnan Hendrik Merkus de
Kock di wisma keresidenan di Magelang untuk berunding membahas perjanjian
perdamaian dan mengakhiri permusuhan. Namun nyatanya ia malah ditangkap dan
diasingkan ke Batavia lalu dipindahkan ke Sulawesi hingga akhir hayatnya.
Sedangkan dalam film Mencuri Raden Saleh, Piko CS semula diberi misi untuk
membuat replika lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro untuk ditukarkan dengan
uang sebesar 2 miliar rupiah oleh Dini sebagai perantara Piko dan Permadi,
namun ternyata Permadi malah menyuruh Piko untuk menukar lukisan replika
buatannya dengan lukisan asli yang akan dipindahkan untuk pameran yang
menyebabkan Piko dan kawan-kawannya terancam menjadi seorang kriminal.
Baik dalam lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro maupun
film Mencuri Raden Saleh terlihat bahwa sosok de Kock dan Permadi sama-sama
merupakan antagonis yang melakukan kelicikan untuk memperoleh kemenangan
pribadi dirinya sendiri dan merugikan pihak lawan dengan cara yang tidak adil.
Keduanya juga merupakan sosok pejabat yang memiliki kekuasaan dan memberikan
ancaman bagi tokoh sentral pada lukisan maupun film.
Lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro sejatinya juga menuai
perdebatan dan pertanyaan “mengapa Raden
Saleh yang merupakan seorang pribumi Jawa melukiskan sebuah peristiwa kekalahan
kaumnya sendiri?”, apakah karena dirinya mendapat privilege dari pejabat Belanda setempat untuk belajar ke Eropa
sehingga dirinya sudah merasa tidak “Bumiputera” lagi?. Di titik ini mungkin
rasa nasionalisme serta moral Raden Saleh dipertanyakan, meskipun Indonesia
sendiri belum berdiri sebagai sebuah negara dan masih berupa gagasan pribumi
Hindia Belanda pada masa itu. Namun nyatanya lukisan itu dibuat sebagai bentuk
perlawanan Raden Saleh yang merupakan seorang pelukis dengan caranya sendiri,
di mana ia meyelipkan simbol-simbol yang mengkritisi peristiwa dan siasat
Belanda pada kejadian itu dan menyerangnya dengan karya seni yang ia pelajari
di negeri penjajahnya sendiri.
Sama dengan halnya Raden Saleh, moralitas Piko pada film ini
juga dipertanyakan, “Bagaimana bisa
seorang anak muda yang ingin ayahnya bebas dari penjara malah menempuh jalur
kotor dengan membantu mantan presiden yang korup untuk mencuri lukisan yang
menjadi national treasure?”. Well, bisa dibilang ini juga merupakan bentuk
perlawanan Piko dengan caranya sendiri. Sejak awal, motivasi awal Piko CS hanyalah mencari uang dengan membuat lukisan palsu untuk dijual ke lelang, bahkan
dalam dialog Piko, Ucup, dan Sarah ketika bertemu dengan Permadi pertama kali,
Sarah menyatakan penolakannya dengan berkata “Tapi Pak, kami bukan pencuri”. Namun
setelah Piko dan tim dikhianati Permadi, ada sebuah kegundahan batin yang
dialami oleh protagonis ketika melihat lukisan tersebut jatuh ke tangan yang
salah, dan muncul sebuah angan untuk melakukan hal benar. Momen saat melihat
lukisan palsu di pameran koleksi istana menjadi turning point bagi Piko untuk merebut kembali lukisan Penangkapan
Pangeran Diponegoro yang disimpan di rumah Permadi.
Dalam film Mencuri Raden Saleh, penonton dapat melihat pula
kesamaan setting antara rumah Permadi
yang menjadi latar tempat pencurian lukisan dan wisma keresidenan di Magelang
yang menjadi latar tempat penangkapan Pangeran Diponegoro. Sebagai setting yang mucul dalam film maupun lukisan, keduanya sama-sama berperan sebagai tempat menetapnya
antagonis, berarsitektur mewah dengan pilar-pilar
menjulang tinggi di depannya sebagai representasi status sosial si tuan rumah, sama-sama ditampilkan pada kiri frame, dan menjadi tempat kerumunan
orang menyaksikan sebuah peristiwa besar yang ditampilkan pada medium kanvas maupun
layar perak.
Meskipun pada kenyataannya Pangeran Diponegoro berhasil
ditangkap oleh Belanda, namun Raden Saleh melukis sosoknya dengan ekspresi
tegar dengan gagah, ia berdiri sejajar dengan de Kock di anak tangga yang sama
sambil sedikit mendongakkan kepalanya, sebuah isyarat bahwa dirinya tidak takut
melawan penjajah dan kedzaliman, sangat kontras dengan lukisan Pieneman yang
menggambarkan Diponegoro yang terlihat lesu dan pasrah. Begitu pula Piko CS,
meskipun awalnya sempat “dikalahkan” oleh Permadi, namun akhirnya ia bangkit
dan berhasil merebut lukisan itu dari rumahnya. Kesuksesan pencurian tersebut
adalah sebuah bentuk perlawanan baik dari Piko CS maupun bagi film Indonesia
itu sendiri, di mana ending film
tidak membiarkan seorang Permadi yang statusnya merupakan seorang mantan
presiden yang korup untuk menang.
Pada masa orde baru, pemberlakuan sensor yang super ketat
menjadi salah satu masalah bagi para pembuat film di Indonesia. Industri film
Indonesia di bawah pemerintahan presiden Soeharto hanya menjadi alat politik
untuk melanggengkan kepatuhan masyarakat terhadap otoritas yang ada. Berbagai
macam peraturan dan banyaknya larangan menjadikan pembuat film sulit dalam
berkreatifitas. Dalam buku
Krisis dan Paradoks Film Indonesia karya Garin Nugroho dan Dyna Herlina S
disebutkan bahwa:
“Pemerintah orde baru
yang senantiasa berupaya menegakkan kekuasaannya dengan membasmi lawan
politiknya, menggunakan sensor untuk tujuan mereka”.
Alih-alih menciptakan
karya untuk mengangkat realitas yang terjadi di tengah masyarakat, film pada
era itu harus menggambarkan kondisi Indonesia yang ideal sesuai dengan visi dan
misi negara, tujuannya adalah menjaga ketertiban serta menjauhi kritik dan
unsur politik pada film Indonesia demi melanggengkan kekuasaan para pejabat.
Budaya sensor menyensor pada film seperti ini sebenarnya sudah mengakar dari zaman
kolonial. Tujuannya pada masa itu sebenarnya sama, untuk menjaga marwah agar
wajah orang kulit putih tidak dianggap tak bermoral oleh penduduk pribumi.
Salah satu pantangan pada masa orde baru adalah larangan film menghina atau merendahkan aparatur negara, dan juga menampilkan kekalahan
aparat hukum di hadapan pelaku kriminal. Salim Haji
Said dalam bukunya yang berjudul Krisis Aktor, Teater Sutradara, dan Pasar,
Sejumlah Tulisan tentang Teater dan Film menyampaikan:
“Bukan rahasia lagi, terlalu banyak hal yang
tidak bisa difilmkan. Kisah pegawai tinggi yang korup biasanya sulit lolos
sensor, demikian juga kisah tentang oknum polisi atau militer yang digambarkan
bertindak tidak sesuai dengan doktrin kedinasannya.”
Janur Kuning (1979)
Oleh karena
itu marak dijumpai film-film yang menampilkan aparat negara sebagai sosok “pahlawan” pada masa orde baru. Selain itu glorifikasi sosok presiden
Soeharto melalui narasi film-film sejarah juga digembor-gemborkan seperti pada
film Janur Kuning (1979) dan Pengkhianatan G30S/PKI (1984).
Setelah orde baru tumbang pasca-reformasi 1998, aturan-aturan
sensor tersebut seharusnya sudah runtuh seiring dengan berjalannya waktu dan
pergantian kekuasaan. Di era sekarang kemajuan teknologi dan komunikasi
berkembang, kebebasan berpendapat dan berekspresi juga sudah lebih fleksibel
ketimbang era orde baru yang sangat represif. Film-film Indonesia juga telah
bertransformasi dan bebas mengangkat isu terkini yang ada di masyarakat. Salah
satu bentuk kebebasan tersebut dapat dijumpai pada film Mencuri Raden Saleh.
.png)
Penggunaan tokoh Permadi yang merupakan seorang mantan
presiden sebagai antagonis adalah salah satu bentuk perlawanan film Indonesia
terhadap nilai-nilai yang telah ditinggalkan pada masa orde baru. Permadi pada
film ini digambarkan sangat berlawanan dengan penggambaran aparat maupun sosok
presiden yang ideal dan diglorifikasi seperti di film-film saat pemerintahan
Soeharto. Masyarakat diperlihatkan bagaimana kotor dan busuknya politikus yang
tak tanggung-tanggung jabatannya adalah mantan orang nomer 1 di Indonesia.
Selain itu penonton juga diberi gambaran terbuka bagaimana bobroknya moral
Permadi yang bisa bertindak sewenang-wenang karena punya kekuasaan dan
mengancam keamanan Piko CS yang hanya merupakan warga sipil.
.png)
Selain Permadi, film Mencuri Raden Saleh juga menampilkan
kepolisian yang digambarkan bukan sebagai sosok savior yang menyelesaikan masalah. Pada film ini malahan polisi
hanya dijadikan alat untuk memuluskan rencana Permadi dalam mendapatkan lukisan
Penangkapan Pangeran Diponegoro yang asli dan menyingkirkan tim Piko yang
dijadikan umpan. Tak hanya itu, film ini juga mengkritisi buruknya sistem pada
penyimpanan barang-barang seni milik negara, kinerja lembaga kepolisian dan
lapas, serta rendahnya literasi masyarakat terhadap seni lukis yang ada di
Indonesia melalui dialog Ucup yang berbunyi “Nggak ada yang gua kenal namanya
Pik” saat Piko tengah menyebutkan nama-nama pelukis terkenal Indonesia. Dan
terakhir, puncak dari perlawanan pada film Mencuri Raden Saleh adalah
menampilkan kekalahan Permadi oleh Piko CS, yang mana sangat dilarang keras
ditampilkan pada masa orde baru, sebuah bukti bahwa film Indonesia saat ini
sudah sedikit lebih bebas dari kekangan otoritas yang membelenggu kreatifitas
para sineas.
Film Mencuri Raden Saleh tak hanya menyajikan sebuah spectacle baru bagi film Indonesia, tetapi juga mengangkat sebuah perlawanan terhadap
nilai-nilai yang dicekoki oleh penguasa pada masa orde baru terkait wajah para
pemimpin, aparatur negara, dan kondisi sosial di masyarakat. Perlawanan
tersebut juga terilhami oleh lukisan yang menjadi objek curian pada film ini.
Baik film Mencuri Raden Saleh maupun lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro
sama-sama memberikan pemirsa yang menyaksikannya sebuah makna, bahwa siapapun
diri kita, status, maupun profesi yang tengah dijalani dapat menyuarakan sebuah
perlawanan melalui cara kita masing-masing.
Daffa Amrullah.
Comments
Post a Comment