REVIEW FILM GUILLERMO DEL TORO'S PINOCCHIO (2022)

 Review Film Guillermo del Toro's Pinocchio (2022)

Bukan sekedar film anak-anak, itulah kalimat yang pertama kali gua pikirkan setelah selesai menyaksikan film Pinocchio nya Guillermo del Toro ini. Baru saja kemarin gua menamatkan delapan episode dari series Netflix yang diproduseri oleh beliau juga, lanjut gua tertarik untuk menonton salah satu film terbarunya yang juga tayang di Netflix.

Seperti kita ketahui bahwa kisah klasik Pinocchio adalah:

"Tentang seorang pria tua bernama Geppetto yang kesepian dan membuat sebuah boneka dari kayu untuk menemaninya, tak lama peri biru datang dan membuat boneka kayu tersebut hidup dan akhirnya menjadi anak dari Geppetto tua. Dalam masa-masa awal hidupnya Pinocchio kecil sangat nakal dan suka membolos ketika sekolah, ia ingin berpetualang mencari kesenangan, walaupun akhirnya ia mendapat kemalangan karena ulahnya. Ending dari setiap kisah Pinocchio adalah ia berubah menjadi anak kecil sungguhan dan melanjutkan hidup bersama Geppetto". 

Tadi adalah kisah klasik dari Pinocchio, lalu bagaimana dengan filmnya yang satu ini?

Di filmnya yang berlatar saat pendudukan rezim fasis di Italia kali ini, penonton tidak hanya diperlihatkan mengenai rasa kesepian dari sosok Geppetto tua, melainkan kita juga akan dipertontonkan mengenai backstory dari pembuatan boneka Pinocchio yang terjadi karena Geppetto kehilangan putranya Carlo akibat bom pesawat tempur. Rasa berdukanya membuat Geppetto menjadi sosok tua yang depresi dan larut terlalu lama dalam kesedihan dan bayang-banyang mendiang putranya. Saat mabuk, ia membuat Pinocchio, dan saat boneka kayu itu hidup, ia selalu mendikte Pinocchio agar menjadi seperti Carlo, anaknya yang sudah mati. 

Menarik sekali ketika del Toro menentukan latar perang dunia 2 sebagai waktu kejadian film Pinocchio, karena selain memperluas eksplorasi cerita agar tidak hanya berjalan seperti kisah klasiknya, latar waktu ini berpengaruh dalam membuat layer-layer penceritaannya dan mengangkat perang sebagai sebuah situasi dan kondisi yang berdampak buruk bagi masyarakat, khususnya dari kacamata anak-anak itu sendiri.

Di film Pinocchio ini juga del Toro sepertinya tidak hanya ingin membangun kisah drama melalui hubungan ayah dan anak, melainkan menjelaskan konsep kematian serta afterlife melalui hal-hal gaib yang kids friendly

Eksekusi Pinocchio nya del Toro ini juga sangat unik, alih-alih menggunakan animasi, film ini menggunakan teknik stop motion yang dibuat menggunakan boneka. Teknik ini mengingatkan gua akan dua filmnya Wes Anderson yaitu Fantastic Mr. Fox (2009), dan Isle of Dogs (2018). Selain itu del Toro juga mengajak kita untuk bernostalgia dengan karya-karya sebelumnya dengan menghadirkan sosok Wood Spirit dan Death yang diisi suaranya oleh Tilda Swinton. Sosok ini apabila kalian ingat merupakan gabungan dari beberapa karakter-karakter yang pernah diciptakan del Toro pada film Hell Boy II: The Golden Army (2008) dan Pan's Labyrinth (2006). 

Dunia tempat Death tinggal benar-benar didesain mirip dengan adegan saat Hellboy menemui malaikat kematian, di mana ruang sekelilingnya dipenuhi dengan pasir dan tabung-tabung kaca yang kalau di film Pinocchio adalah jam pasir, namun sosok dari Death itu sendiri tidak semenakutkan itu untuk film anak-anak karena sudah disesuaikan dengan rating film.

Selain plot utama dari film ini, beberapa subplot pada film Pinocchio ini juga menarik, seperti kisah dari tokoh Cricket si jangkrik sastrawan, Spazzatura si monyet sirkus, dan Candlewick. Ketiga karakter ini saling berdampak dan memberi pelajaran-pelajaran bagi tokoh Pinocchio dalam menjalani kehidupannya sepanjang film.

Penggunaan beberapa adegan musikal juga sukses dalam membangkitkan emosi penonton baik senang ataupun sedih. Komedi-komedi yang digunakan di sela-sela film mampu membuat gelak tawa sesekali, apalagi saat sosok Mussolini ditampilkan dengan sedemikian rupa dan diolok-olok dengan santainya.

Kesimpulannya adalah, Guillermo del Toro's Pinocchio adalah film paling dicintai tahun 2022, dengan semangat baru dalam mengangkat kisah klasik anak-anak melalui pencapaian teknis yang baik, renungan terhadap perang, kisah drama ayah dan anak, trauma dan tragedi, serta harapan baru yang segar.

Terima kasih telah membaca review ini, jangan lupa follow instagram gua @im.amru dan subscribe youtube gua: Daffa Amrullah. 

Comments