REVIEW FILM THE FABELMANS (2022)

 Review Film The Fabelmans (2022)

Film yang dinominasikan 7 piala Oscar ini ternyata gagal dalam meraup keuntungan di kancah box office dunia. Film Fabelmans yang merupakan garapan filmmaker terkenal, Steven Spielberg, ini hanya meraup pendapatan kecil di bioskop sampai turun layar. Sebuah fakta yang mencengangkan untuk membuka artikel ini.

The Fabelmans adalah film coming of age yang bercerita mengenai seorang anak bernama Sammy Fabelman yang jatuh cinta pada film sejak momen pertamanya menonton bioskop bersama kedua orang tuanya ketika dirinya kecil. Kecintaannya terhadap filmmaking dan perjalanannya dalam memulai karir tidak seperti jalan tol yang mulus tanpa hambatan. Latar belakang keluarganya yang merupakan penganut Judaism, keretakan hubungan orang tuanya, dan perpindahannya ke kota-kota lain seiring dengan peningkatan karir ayahnya, memberikan berbagai hambatan yang membuat semangat Sammy pasang surut dalam menjalani kehidupannya serta menggapai mimpinya sebagai seorang pembuat film.

Nama besar Steven Spielberg adalah inspirasi dalam terciptanya film ini. The Fabelmans sejatinya merupakan sebuah film biografi yang difiksikan, yang didasari oleh kehidupan masa kecil Spielberg dalam merintis karirnya sebagai seorang filmmaker di Hollywood. Kalau boleh dibilang, secara pribadi mungkin film ini merupakan karya Spielberg yang menjadi urutan terakhir di daftar favorit dari beberapa filmnya yang pernah gua tonton. Bukan karena filmnya jelak, melainkan gua merasa masih ada beberapa film yang lebih oke terkait cerita mengenai kecintaan seseorang terhadap film atau sinema ketimbang film ini, dan sepertinya dalam beberapa tahun terakhir telah banyak film dengan tema "Love Letter untuk sinema" yang akhirnya menjadi membosankan.

Dengan durasi 2 jam 31 menit penonton akan mengikuti lika-liku kehidupan dari sosok Sammy bersama keluarganya dengan dua sisi dan pola asuh yang berbeda, di mana ibunya (Michelle Williams) merupakan seorang seniman piano, sementara ayahnya (Paul Dano) merupakan seorang pekerja di bidang teknologi. Kecintaan Sammy terhadap film membuatnya menemukan hal-hal lain yang tidak terduga selama ini, di mana film membuatnya mempelajari hal-hal baru terkait perasaan-perasaan manusia, bahkan melihat sesuatu yang tak terlihat melalui frame-frame seluloid yang ia rekam. 

The Fabelmans memperlihatkan kita terkait proses pembuatan film secara beriringan dengan perkembangan karakter Sammy, mulai dari menonton, merekam, mendirect, mengedit, hingga memutarkan hasil jadi dari sebuah film. Penonton juga diajak untuk melihat perkembangan alat beserta teknik pembuatan film yang dilakukan oleh Sammy seiring pendewasaan dirinya. Bukan hanya tentang anak muda dan film, The Fabelmans juga menyoroti drama berserta konflik-konflik yang ada di dalam keluarga Fabelman, hubungan asmara kedua orang tuanya, dan kerasnya kehidupan sebagai seorang Yahudi di lingkungan yang masih kuat sikap anti-semit nya.

Secara teknis, kita tidak perlu meragukan Steven Spielberg yang duduk di kursi sutradara. Ia mampu menelurkan sebuah kisah nostalgia masa kecilnya dengan sangat rapi melalui eksekusi-eksekusi directing serta sinematografinya yang memukau. Spielberg dapat membangkitkan perasaan tokoh-tokohnya melalui berbagai blocking kamera dan pemain tanpa harus berkoar-koar dalam menjabarkan perasaan melalui kata-kata. Salah satu yang paling mencengangkan adalah ketika Sammy dapat mengetahui perselingkuhan ibunya dengan Bennie melalui film yang ia rekam saat ia mengeditnya, sebuah sequence yang cukup mendebarkan.

Yang tak kalah memukau dari film ini adalah akting dari Michelle Williams dan Paul Dano sebagai orang tua dari Sammy. Keduanya menampilkan performa yang begitu berlawanan di mana Williams sangat ekspresif sedangkan Dano cenderung kalem namun tetap emosional. Kompleksnya emosi yang silih berganti, khususnya untuk karakter Mitzi Fabelman atau ibu dari Sammy dibawakan dengan baik oleh Williams yang membuat sosoknya dapat dicintai sekaligus dibenci di saat yang bersamaan saat menonton film ini. Sayang sekali Paul Dano dengan tampilnya ia sebagai Burt Fabelman kurang mendapatkan apresiasi tahun ini dalam beberapa ajang penghargaan bergengsi dikarenakan faktor ketatnya persaingan antar film-film bagus yang tengah adu sikut. 

Secara cerita, film ini menurut gua adalah perjalanan menuju Hollywood dengan cara yang sangat Hollywood. Apabila kita menyimak baik-baik, formula cerita klasik banyak sekali diterapkan di film ini, seperti: Sammy hidup normal - Sammy mendapatkan sebuah masalah - Sammy berusaha memecahkan masalah dengan film - Masalah terpecahkan dan Sammy bahagia. Kalian dapat cocokkan dengan adegan-adegan yang ada di film ini seperti saat ketika Sammy baru masuk ke sekolah di California. Sepertinya hal ini yang menyebabkan film The Fabelmans terlihat biasa-biasa saja di mata gua ketika menyaksikannya, ditambah ending yang tidak terlalu memuaskan, entah kenapa gua selalu terbayang-bayang dan membandingkan film ini dengan Cinema Paradiso (1988) yang lebih menggugah gua secara pribadi. 

Kesimpulannya adalah film The Fabelman merupakan surat cinta Steven Spielberg untuk film, masa kecilnya, serta orang tuanya, yang dieksekusi dengan baik, walaupun bukan menjadi film Spielberg yang mencengangkan buat gua dengan durasi yang terlalu panjang untuk menceritakan sebuah kisah awal karir yang ditutup dengan masuknya protagonis ke dalam industri Hollywood yang selalu diidam-idamkan setiap filmmaker di dunia.

Terima kasih telah membaca review ini, jangan lupa follow Instagram gua @im.amru dan subscribe Youtube gua: Daffa Amrullah.

Comments