REVIEW FILM ALL QUIET ON THE WESTERN FRONT (2022)

 Review Film All Quiet on the Western Front (2022)

Salah satu film yang mendapat banyak nominasi Oscar tahun ini adalah film All Quiet on the Western Front yang disutradarai oleh Edward Berger dengan 9 nominasi, termasuk Best Motion Picture of the Year dan Best International Feature Film. Film ini merupakan adaptasi dari novel dengan judul yang sama di tahun 1929 dan juga remake dari dua film dengan judul yang sama di tahun 1930 dan 1979.

Film ini bercerita tentang seorang pemuda Jerman bernama Paul Baumer yang termotivasi untuk ikut terjun ke medan perang bersama teman-temannya setelah mendengar pidato patriotik dari seorang gurunya. Namun ternyata, apa yang ia temui di lapangan oleh Paul sangatlah berbeda dengan apa yang dikoar-koarkan oleh para petinggi terkait kehormatan dan kepahlawanan bagi para tentara yang ikut berjuang di garis depan.

Berlatar perang dunia pertama, All Quiet on the Western Front dibuka dengan sequence yang sangat mengerikan. Penonton disuguhkan dengan visual kegilaan perang dengan benang merah sebuah seragam dari salah satu prajurit yang tewas dalam pertempuran. Sebuah opening yang dapat menghantui penonton untuk menit-menit selanjutnya. Setelahnya cerita mengikuti bagaimana perjuangan Paul dalam bertahan hidup di parit dalam medan perang bersama teman-temannya yang satu persatu gugur dengan cara yang mengenaskan di depan matanya.

Selain menyuguhkan mimpi buruk seputar perang, film ini juga menghadirkan dua tampilan berbeda sebagai perbandingan sekaligus kritik terhadap para petinggi militer yang mendalangi setiap peperangan. Di garis depan kita dapat melihat perjuangan para tentara yang mati-matian untuk membela tanah airnya dan tewas begitu saja, sementara petinggi-petinggi militer hanya duduk di kursinya dengan santai dan menikmati fasilitas yang mewah. 

Salah satu yang paling menonjol adalah bagaimana Edward Berger menampilkan perbandingan makanan sebagai hal yang krusial di film ini. Makanan sering kali menjadi sorotan dan elemen penting yang ditampilkan pada film ini, ibarat dua sisi mata koin, prajurit lapangan dan petinggi militer memperlakukan makanan dengan cara yang berbeda. Akan banyak adegan pada film All Quiet in the Western Front yang memperlihatkan tokoh membahas soal makanan, makan, dan mencari makan. Dengan makanan ini filmmaker berusaha menyampaikan ketimpangan sekaligus kelas sosial yang membentuk dan menentukan kepribadian seseorang dalam sebuah perang.

Film ini juga menyoroti seputar glorifikasi perang yang sejatinya hanyalah bualan belaka. Embel-embel cinta tanah air, kemuliaan, dan kehormatan hanyalah jargon-jargon yang diteriakkan oleh para pemangku kekuasaan yang serakah dan tidak pernah sekalipun merasakan impact nyata dari buruknya sebuah peperangan untuk mencuci otak rakyat-rakyat biasa agar bisa dijadikan bidak yang dikorbankan di garis depan. Bisa dilihat pada film ini bahwa semua itu didukung oleh perangkat-perangkat lainnya bahkan sampai ke institusi pendidikan. 

Kalau biasanya di film-film perang Hollywood kita sering melihat protagonis yang digambarkan sebagai sosok pahlawan saat perang dan ditampilkan sebagai seseorang yang hebat, bahkan di endingnya juga diarahkan untuk dipuji-puji oleh para penonton, nah di film ini justru sebaliknya. Film All Quiet on the Western Front malahan membuat protagonis tidak menonjol dan sama seperti para tentara lainnya yang kerap dihantui oleh  momen di mana ia sewaktu-waktu bisa mati begitu saja, bahkan sisi-sisi lemah manusianya juga diperlihatkan seperti pada adegan saat ia membunuh lawannya, rasa bersalah, dan kesedihannya. Inilah yang sejatinya terjadi di medan perang yang nyata, dan film ini berusaha untuk menyampaikan hal tersebut sampai film ini selesai.

All Quiet on the Western Front memang sangat juara dalam memberikan visualisasi terhadap perang melalui sinematografi, make up, visual efek, production design, dan sound design. Elemen-elemen tersebut mampu membangkitkan ketidaknyamanan penonton dalam menyaksikan adegan-adegan kekerasan yang menampilkan visual explisit berupa darah, potongan tubuh yang hancur, bahkan pembunuhan yang dilakukan secara sadis di peperangan. 

Penggunaan god eyes view yang konsisten pada sinematografinya dapat memperlihatkan lanskap-lanskap wilayah perang yang berantakan beserta prajurit-prajuritnya yang kecil dan bergelimpangan mati dengan cara yang mengenaskan. Gerak kamera yang dinamis juga memberikan eksplorasi kepada penonton untuk menjelajahi situasi perang secara luas beserta kebrutalan yang terjadi saat itu. Aspek suara yang patut diacungi jempol mampu merangsang ketakutan penonton di setiap adegannya dengan berbagai suara ledakan, tembakan, bahkan suara tank yang berjalan sekalipun.

Kesimpulannya adalah film All Quiet on the Western Front merupakan salah satu film antiperang yang meyoroti moral manusia-manusia yang terlibat baik di lapangan ataupun duduk di kursi petingginya, dengan megahnya kombinasi audio visual yang mampu menghadirkan trauma serta mimpi buruk dari situasi peperangan yang mungkin masih sangat relatable untuk dunia hingga saat ini. 

Terima kasih telah membaca review ini, jangan lupa follow instagram gua @im.amru dan subscribe youtube gua: Daffa Amrullah

Comments