Review Film Bardo, False Chronicle of a Handful of Truths (2022)
Setelah tujuh tahun pasca film The Revenant (2015) yang gua saksikan semasa SMA, akhirnya penantian gua untuk menyaksikan karya terbaru dari salah satu sutradara favorit gua yaitu Alejandro González Iñárritu terbayar setelah menyaksikan film Bardo. Sedikit flashback, perkenalan gua untuk pertama kalinya dengan karya-karya Iñárritu dimulai saat gua menonton film Birdman or (The Unexpected Virtue of Ignorance) (2014). Saat itu gua masih duduk di bangku SMA dan "tertipu" dengan embel-embel judul Birdman dan nama Michael Keaton yang bertengger sebagai leading actor di film itu. Mengingat masa lalu Keaton yang sempat berperan sebagai sosok Batman, dan kemenangan Birdman atas film Boyhood (2014) yang memakan waktu shooting selama 12 tahun, membuat gua penasaran sebagus apa karya dari sutradara yang satu ini.
Saat SMA gua merasa kecewa karena gua tidak mendapat film superhero yang gua ekspektasikan. Gua berpikir bahwa gua hanya menonton film yang tidak jelas dengan protagonis pria tua keras kepala yang krisis identitas, mondar-mandir panggung, berceloteh dengan orang-orang, dan berlarian dengan celana dalam di tengah keramaian Times Square, dan backsound bunyi drum yang mengganggu. Setahun berlalu, gua akhirnya kembali menonton karya Iñárritu yang dibintangi oleh salah satu aktor favorit gua yaitu Leonardo DiCaprio. Kesan pertama setelah menonton The Revenant, gua malah jatuh cinta dengan gaya penyutradaraan dari sutradara ini dan akhirnya mencari tahu beberapa info mengenai dirinya.
Semasa kuliah gua juga menonton dua karyanya yaitu Babel (2006) dan Amores perros (2000). Setelah menyaksikan empat karyanya gua akhirnya mendapatkan kesimpulan bahwa karya-karya Iñárritu bertransformasi seiring waktu dengan gaya penyutradaraan yang berbeda namun tetap memiliki benang merah yang sama di setiap rentetan filmnya, yaitu MEXICO.
Terkait Bardo, False Chronicle of a Handful of Truths, film ini memang banyak mengundang kritik maupun pujian. Setelah membaca beberapa komentar di Rotten Tomatoes, gua akhirnya mengerti mengapa ada sebagian orang yang tidak menyukai film ini, namun sebagian lagi mencintainya. By the way tidak seperti biasanya yang tayang di layar lebar, kali ini film Bardo lahir dari platform Netflix, namun bukan berarti Iñárritu kehilangan kuasa atas filmnya dan melebur menjadi karya-karya Netflix pada umumnya, justru Bardo mampu mempertahankan style Iñárritu yang otentik seperti pada film-film sebelumnya.
Kesan pertama saat menyaksikan film Bardo, secara jujur gua tercengang. Memang rasanya tidak sopan apabila tidak mengaitkan nama besar sutradara Fedderico Fellini ketika menyinggung film Bardo, dikarenakan beberapa aspek film ini terasa sangat Fellini apabila kalian telah menyaksikan salah satu karya beliau. Oke, dimulai dari cerita, Bardo bercerita tentang Silverio (Daniel Giménez Cacho), seorang jurnalis sekaligus pembuat film dokumenter yang dilanda krisis identitas, kecemasan, masalah keluarga, dan trauma. Permasalahannya adalah seputar bagaimana Silverio bergulat dengan gundahnya mengenai jiwa nasionalisme dikarenakan latar belakang Silverio yang seorang Meksiko, namun tinggal lama dan berkarir di Amerika.
Banyak hal yang ingin disampaikan oleh Iñárritu melalui film Bardo, mulai dari dunia eksternal dari tokoh Silverio: masalah hubungan Mexico dan America, sejarah dan tragedi, problematika masyarakat Mexico, politik, jurnalisme, dan kritik terhadap kesenian. Sementara dari internalnya: trauma akan kematian anaknya, masalah keluarga, kecemasan, krisis identitas, kelahiran dan kematian. Semua hal tersebut bercampur aduk dalam durasi 2 jam 39 menit dengan adegan-adegan yang sureal, di mana penonton diajak berkeliling antara dunia nyata, fantasi, imajinasi, dan memori dari tokoh Silverio itu sendiri. Hal inilah yang mungkin membuat Bardo kerap dibanding-bandingkan dengan karya-karya Fellini.
Kalau membahas sinematografi, gua rasa Bardo patut diacungi jempol. Darius Khonji yang duduk di kursi Director of Photography mampu menyalurkan segala hasrat Iñárritu melalui berbagai teknik sinematografi, khususnya penggunaan wide angle dan long take yang konsisten sepanjang film. Penonton akan disuguhkan dengan teknik moving yang terus menerus tanpa putus untuk mengikuti pergerakan tokoh Silverio dalam mengeksplor ruang-ruang, emosi, serta dunianya. Shot-shot dan pengadeganan yang puitis dan sarat makna akan sering kita jumpai saat menonton film ini. Selain itu permainan cahaya dalam mengubah waktu dan menghadirkan mood-mood yang melankolis juga berhasil diterapkan dalam film ini. Walaupun tidak semencengangkan Birdman, dengan teknik sinematografi yang dinamis tersebut gua rasa dapat menghanyutkan penonton ke dalam gambar-gambar indah untuk meringankan sedikit beban yang ada di film Bardo.
Dari segi production design, Bardo tampil dengan megah, banyak sekali tempat-tempat yang luas dengan properti yang kompleks, ditambah figuran dengan jumlah ratusan membuat film ini terkesan sangat mewah sekaligus eksotis. Selain itu juga ada beberapa adegan yang direproduksi oleh Iñárritu dari film-film sebelumnya seperti Birdman dan The Revenant yang akan membuat kita tersenyum ketika menyaksikannya. Gua juga akan memberikan tepuk tangan kepada para aktor dan aktris yang bermain pada film ini, mengingat dari segi teknis yang tidak mudah tentunya juga berpengaruh kepada akting para pemain di dalamnya, khususnya mengenai sinematografi, dikarenakan pengambilan gambar long take tentunya tidak mudah dilakukan bagi crew maupun para aktor itu sendiri.
Hmmm, akan jadi menarik apabila gua punya teman diskusi khusus untuk membahas film Iñárritu yang satu ini. Jadi kesimpulannya adalah film Bardo, False Chronicle of a Handful of Truths adalah salah satu film yang paling ambisius tahun ini dengan eksekusi teknis yang memukau serta cerita yang kompleks, di mana sang sutradara Mexico ini kembali membahas tentang Mexico, tanah kelahirannya dengan segala problematika yang ada di dalam maupun luarnya, serta membahas mengenai isi kepala Iñárritu secara personal, dan kegundahannya sebagai seorang Mexico yang bekerja di America juga (?).
Terima kasih telah membaca review ini, jangan lupa follow gua di instagram @im.amru dan subscribe channel youtube gua: Daffa Amrullah
Comments
Post a Comment