REVIEW FILM BLONDE (2022)
Disutradarai oleh Andrew Dominik, sutradara yang terkenal melalui film The Assassination of Jesse James by the Coward Robert Ford (2007), dan diproduseri oleh aktor papan atas yaitu Brad Pitt. Film Blonde merupakan sebuah adaptasi dari novel berjudul sama yang rilis tahun 2000 karya Joyce Carol Oates. Film Blonde adalah sebuah film fiksi yang terinspirasi oleh tokoh ikonik Hollywood Marilyn Monroe. Film ini menabrak batas antara realita dan imajinasi dari tokoh Norma Jeane atau yang lebih populer dikenal sebagai Marilyn Monroe, serta trauma-trauma yang menghantuinya sejak kecil hingga masa jayanya di industri film Hollywood. Meskipun mengangkat kehidupan Marylin Monroe, film Blonde hakikatnya merupakan sebuah film fiksi yang dicampur adukkan dengan berbagai momen-momen serta peristiwa-peristiwa sensasional yang terjadi secara real di dunia nyata dengan menghadirkan imajinasi penulis dalam bertuturnya.
Blonde menyoroti perjalanan hidup Monroe dari sisi
personalnya, mulai dari kekerasan yang dialaminya sejak kecil oleh ibunya yang
menderita gangguan jiwa, ketidakhadiran sosok ayah, hingga skandal-skandal
besarnya dengan berbagai orang ternama pada masanya. Dengan mengangkat hal-hal
tersebut, Blonde membawakan sensasi gangguan psikologis yang dipresentasikan melalui
visual dan audio sepanjang durasi film. Kesan ketidaknyamanan, kecemasan, rasa
bersalah, dan ketakutan dapat dirasakan oleh penonton ketika melihat berbagai
scene yang ditampilkan dan narasi yang saling tumpuk menumpuk di film ini.
Sulit rasanya untuk jatuh cinta pada film ini kalau bukan karena penampilan Ana de Armas yang sangat memukau dalam membawakan sosok ikon seks dengan rambut pirang itu. Performanya untuk menyampaikan segala emosi dan totalitasnya dalam bertransformasi menjadi Norma dan Marilyn sangat layak untuk diapresiasi lebih, selain itu mungkin satu-satunya hal yang dapat membuat penonton bertahan selama menonton film ini hanyalah dirinya, dikarenakan masih banyaknya aspek naratif dan teknis yang ternyata bolong-bolong di sepanjang film. Ana de Armas tidak segan-segan untuk berakting tanpa busana layaknya Kate Winslet di film The Reader (2008) demi menjiwai Marylin Monre, ya semoga ketelanjangannya dapat membawanya kepada berbagai penghargaan seperti Kate.
Dari segi visual, memang tidak terbantahkan kalau film
Blonde dapat menyajikan gambar-gambar yang indah, walaupun banyak sekali
penonton yang dibuat pusing oleh perubahan aspect ratio pada film ini. Selain
itu perubahan warna menjadi hitam-putih yang terjadi secara masif juga membingungkan
penonton yang kerap kali menebak-nebak motif dari berubahnya kedua aspek
sinematografi tersebut, apakah imajinasi? Apakah nostalgia? Atau ini nyata?.
Syukurlah Chayse Irvin selaku sinematografer mampu menampilkan
komposisi-komposisi yang ciamik, dan warna-warna khas vintage yang lekat dengan
zaman Hollywood jadul yang menyegarkan mata penonton sekaligus membuat gua
memaafkan faktor aspect ratio tersebut.
Blonde tidak hanya menyorot dualisme sisi kehidupan pribadi Norma Jeane dan glamornya Marilyn Monroe di hadapan publik. Film ini secara halus bertutur mengenai hakikat jiwa keibuan dari seorang perempuan yang merana dan terkurung popularitas di dunia nyata, di mana sebuah wadah bernama industri (Hollywood) secara kejam menekan dan memaksa seorang perempuan rapuh untuk menjadi superstar yang tanpa cacat, menyembunyikan rasa cintanya dari sorotan publik, dimanfaatkan, direndahkan, dan dirusak dari dalam demi pundi-pundi uang. Melalui adegan-adegan pada film ini, Andrew Dominik menampilkan Hollywood yang penuh diskriminasi dan patriarki, dan realitanya terhadap aktris yang masih ada hingga sekarang.
Secara naratif, memang Blonde ini bukanlah Sinema Hollywood
Klasik, melainkan Art Cinema Naration. Perlu diketahui bahwa Art Cinema
berfokus pada karakter, bukan plot selayaknya Sinema Hollywood Klasik
(Bordwell, 1985), sehingga kita dapat menjumpai Blonde yang hanya menampilkan
Marilyn Monroe yang berpindah-pindah situasi dari satu peristiwa ke peristiwa
lain tanpa plot yang jelas dengan referensi berbagai footage Monroe yang terdokumentasikan melalui foto ataupun video selama hidupnya di depan kamera. Namun, Blonde masih memiliki banyak kekurangan dari
berbagai aspek, seperti editingnya yang kerap kali memotong sebuah scene sebelum
tuntas, atau menampilkan potongan shot dari scene sebelumnya secara random pada
scene lain.
Aspek lain (selain akting Ana de Armas) yang mampu menyokong film ini adalah kostum desain dan tata artistik. Kembali lagi mengenai footage-footage yang menjadi referensi film, kita dapat melihat kostum-kostum yang ditampilkan film ini sesuai dengan yang ada di dunia nyata. Penting sekali membahas kostum karena sensasi dari Monre tak lepas dari kevulgaran kostumnya pada zaman itu yang membuat pria-pria jelalatan menatapi dirinya dengan beragam busana yang sensual.
Memang tujuan Blonde adalah menciptakan kentidaknyamanan
yang dirasakan oleh karakter dan mentransfernya kepada penonton, namun saking
tidak nyamannya, banyak sekali penonton yang tidak kuat untuk menonton film ini
hingga selesai. Banyak pula yang mengeluhkan mengenai penggambaran Marilyn
Monroe yang tidak dihormati dan terlalu direndahkan pada film ini, namun
menurut gua personal, itu kembali ke pada masing-masing cara pandang filmmaker
dalam menghadirkan sosok karakter yang diangkatnya, lagi pula ini kan film
fiksi bukan dokumenter, dan lebih tepatnya juga ini bukan film biografi, tapi
psychological horror, betul tidak?
Comments
Post a Comment