REVIEW FILM YUNI (2021)

 REVIEW FILM YUNI (2021)

Semalam, gua baru saja menyaksikan sebuah film Indonesia yang sangat dekat dan nyata dengan kehidupan asli masyarakatnya. Film yang membuat gua bernostalgia dengan sensasi menonton film-film Michael Haneke, Asghar Farhadi, dan Pawel Pawlikowski. Film ini seakan-akan adalah ekspektasi gua terhadap film Indonesia yang sebenarnya, di saat industri kerap kali memberi suguhan yang itu-itu saja, antara meromantisasi drama percintaan ataupun teror horor lokal dengan formula sama dan tiada habisnya. Ya, seperti kalian duga, film ini adalah Yuni yang disutradarai oleh Kamila Andini.

Tahun 2021 memang merupakan tahun emas bagi perfilman Indonesia setelah bangkit dari keterpurukan pandemi yang memaksa industri untuk berhenti. Di tahun tersebut kita dapat menjumpai beberapa film yang sama kuatnya dengan Yuni dan mencuri atensi dunia melalui beberapa penghargaan Internasional yang membanggakan, film-film yang gua maksud adalah Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas (Edwin), dan Penyalin Cahaya (Wregas Bhanuteja). Dari ketiga film yang menjadi pembicaraan publik dan teman-teman kampus perfilman, Yuni lah yang baru sempat saya tonton akhir-akhir ini.

Yuni bercerita tentang seorang remaja pintar dari daerah Banten yang harus dihadapkan dengan pilihan-pilihan sulit dalam hidupnya. Ia memiliki mimpi untuk bisa melanjutkan pendidikannya, namun ditekan oleh norma-norma yang mengekang di masyarakat terkait pernikahan dini dan batasan-batasan menjadi seorang perempuan. 

Film Yuni menyuguhkan secara paksa kepada penonton mengenai kondisi sosial yang terjadi di masyarakat, di mana tiap-tiap individu akan dihadapi oleh berbagai persoalan yang sama dan repetitif namun tak dapat diselesaikan sampai sekarang. Garis-garis tegas antara apa yang disebut bermoral dan amoral masih jelas tergambar di tengah perkembangan zaman yang telah dewasa ini. Aturan-aturan kolot yang masih mengikat dan merugikan perempuan seolah-olah tumbuh subur dan dipelihara dari generasi ke generasi, bahkan film Yuni juga menyentil bahwa tidak hanya masyarakat ekonomi kelas bawah yang "dengan bodohnya" memelihara aturan ini, namun pemerintahnya malahan juga memupuknya dengan terang-terangan. 

Gambaran nyata mengenai masalah-masalah yang terjadi di wilayah daerah, khususnya Banten, diangkat satu persatu melalui beragam cara di film ini, mulai dari setting, karakterisasi, dan dialog. Film Yuni juga menghadirkan nuansa baru melalui pemilihan latar tempat dan waktu di Banten, mengingat film-film Indonesia terlalu Jawa sentris dan selalu muluk-muluk untuk memasang atribut serta nuansa "Jawa" agar terlihat berbudaya. Alih-alih mengeksploitasi pesona alam di daerah seperti layaknya filmmaker-filmmaker yang ingin dilihat keren karena sinematografinya menyorot lanskap pedesaan atau pegunungan, Kamila Andini justru menampilkan frame sesempit mungkin yang terasa personal untuk menyoroti masyarakat secara spesifik di film ini. 

Diferensiasi pola tingkah laku melalui segmentasi usia, tempat tinggal, profesi, dan gender pada tokoh-tokoh pendukungnya memberikan dorongan-dorongan yang membentuk jati diri tokoh Yuni di dalam filmnya itu sendiri, sehingga tokoh-tokoh di dalamnya tidak hanya sekedar jadi tempelan belaka. Arawinda Kirana juga berhasil mengeksplorasi karakter Yuni dengan baik, dari mulai dialek, pengolahan emosi, gerak gerik, dan yang paling sederhana adalah naluri bertingkah seorang remaja perempuan di usia anak SMA yang begitu meyakinkan gua pribadi sebagai penonton. Penggalian background story yang kelam dari tokoh pendukungnya, Suci (Asmara Abigail) namun dikemas dengan sederhana melalui dialog keseharian antar karakter adalah pilihan tepat alih-alih mengeksploitasi kemiskinan dan mengaitkannya dengan kesedihan yang berlarut-larut dan kesengsaraan yang bertubi-tubi khas film Indonesia lainnya. Yuni juga berani bercakap bahwa orang dengan ekonomi pas-pasan juga bahagia dengan caranya masing-masing meskipun hidup senantiasa menemui kesulitannya yang datang secara berangsur-angsur.

Walaupun garis besar film Yuni adalah tentang pernikahan dan cinta, namun film coming of age ini tidak melulu menyorot nuansa mesra-mesraan dan gombalan ala remaja kasmaran atau patah hati serta kegalauan yang lagi-lagi cukup mainstream di film Indonesia. Justru film Yuni mampu memaknai hubungan antara laki-laki dan perempuan yang sebenarnya kompleks, rumitnya ikatan rumah tangga, dan tanggungjawab besar yang harus diemban tiap individu setelah pernikahan, bahkan Yuni menampilkan gagalnya rumah tangga sebagai hal yang umum dan tidak tabu di film ini. Realita manisnya janji suci malah berbalik menjadi ketakutan protagonis, bahkan ancaman yang akan membelenggu dirinya untuk meraih kehidupan yang lebih baik.

Film Yuni mengangkat hal-hal tabu di masyarakat kecil menjadi hal-hal yang wajib diperbincangkan, Yuni seolah-olah berpidato di depan kelas dan berkata dengan lantang "Apa salahnya kita membahas menstruasi, orgasme, masturbasi, dan keperawanan? itu semua milik kita, milik perempuan, itu adalah hak kita, hak perempuan". Film ini tak hanya mengangkat masalah perempuan dan kompleksitasnya dalam kehidupan, tapi juga masalah gender dan kesetaraan yang harusnya didapatkan setiap manusia di dunia secara merata.

Terakhir yang ingin gua sampaikan adalah kita sebagai penonton dapat melihat bagaimana Kamila Andini merangkai Yuni yang realistis dalam bentuk yang puitis melalui pemilihan warna, shot, pengadeganan, dan korelasinya dengan puisi-puisi Hujan Bulan Juni nya Sapardi Djoko Damono. Dalam isu kelamnya budaya patriarki, norma agama, masyarakat, dan pendidikan, Yuni dikemas dengan hangat bersama para perempuan pemberani yang saling bergandengan tangan demi mencapai dunia yang ideal dan mimpi-mimpi yang mereka impikan.

Yuni bukan film biasa. Bagi gua personal, Yuni adalah film yang berani bersuara lantang untuk melawan segala bentuk penindasan yang terlihat maupun tak kasat mata terhadap perempuan di Indonesia. Kamila Andini menampar kita sekeras-kerasnya sebagai penonton, bahwa di Indonesia masih banyak problem sosial yang harus dituntaskan, masih banyak aturan-aturan kolot yang harus ditinggalkan, masih banyak eksploitasi terhadap manusia khususnya perempuan, dan bagi filmmaker, masih banyak hal-hal kecil yang bisa diangkat ke layar lebar dan dapat berdampak besar bagi perubahan, masih banyak suara-suara yang tak di dengar yang bisa disuarakan, ketimbang terus berputar-putar pada drama percintaan dan horor yang tiada habisnya.


Comments