REVIEW FILM ELVIS (2022)

 Review Film Elvis (2022)


Elvis (2022) adalah sebuah film drama biografi karya sutradara Baz Luhrmann. Ini adalah kali ketiga gua menyaksikan film karya Luhrmann setelah Romeo + Juliet (1996), dan The Great Gatsby (2013). Sejatinya film Elvis adalah sebuah mahakarya sekaligus surat cinta besar kepada sosok ikonik Elvis Presley, di mana plot utamanya mengangkat bagaimana seluk beluk kehidupan musisi tersebut dari masa kanak-kanak hingga kematiannya pada tahun 1977. 

Kesan mewah, glamor, dan meriah dapat langsung dirasakan oleh penonton sejak durasi awal film. Segala lika-liku perjalanan musik sang mega bintang yang dipengaruhi musik blues, spiritualitas, dan perbedaan kultur Amerika yang masih mengkotak-kotakkan kebudayaan berdasarkan warna kulit disajikan dengan sangat berapi-api melalui scene-scenenya selayaknya sebuah show yang spesial. Hal itu tentunya ditunjang dengan aspek teknis seperti musik, suara, sinematografi dan editing dengan ritme dan tempo yang cepat, split screen, dan penggunaan footage-footage original dari masa penceritaannya. 



Keapikan dari aspek teknisnya juga tak akan lengkap tanpa performa akting memukau dan enerjik dari Austin Butler yang memerankan sosok Elvis itu sendiri. Butler mampu membius "penonton" melalui kedalaman dan transformasinya menjadi sosok raja panggung itu. Suara yang ngebas, gerakan, dan sorot mata Butler adalah hal yang paling menonjol dari kualitas aktingnya yang patut diacungi jempol pada film ini. Sayang sekali malahan sosok Tom Hanks yang berperan sebagai sosok Colonel Tom Parker alias manajernya Elvis justru tenggelam dan kurang berkesan, padahal ia merupakan salah satu tokoh penting sekaligus narator utama pada film. Walaupun Hanks telah bertransformasi menjadi sosok yang lebih tambun, tetap saja segi penceritaannya masih sangat kurang untuk membawa Hanks ke performa yang lebih prima.



Elvis menampilkan banyak pertunjukan dari masa ke masa, dan terus mengekspos kharisma dari sosok EP (Elvis Presley) dari panggung ke panggung tanpa jeda. Naratif penceritaannya cenderung loncat-loncat seolah-olah film ini adalah sebuah tour yang hanya berpindah lokasi ke sana sini, film ini sampai lupa hal utama yang selalu diinginkan oleh penonton film biografi dari seorang musisi super star adalah "bagaimana kehidupan sosok tersebut di belakang panggung". Elvis hanya menyajikan sedikit porsi untuk hubungan EP dengan keluarganya, percintaannya, bahkan hubungannya dengan manajer serta bandnya. Porsi yang sedikit tersebut hanya ditampilkan layaknya obrolan 5 menit di backstage setelah konser usai sehingga simpati penonton terhadap kehidupan pribadi dari EP sangatlah minim.

Elvis memang menyoroti beberapa peristiwa besar yang terjadi selama masa keemasannya. Isu sosial mengenai kriminalitas dan pembunuhan orang-orang penting di Amerika Serikat, serta segmentasi terhadap warna kulit, dan orang-orang radikal yang bersilangan dengan bagaimana EP menampilkan pertunjukan dan musikmya menjadi salah satu konflik yang silih berganti di film ini. Sayangnya Luhrmann malah keasikan dan terlalu nyentrik untuk menampilkan pertunjukan panggung yang mungkin intensitasnya terlalu berlebihan sehingga "barang" yang tadinya spesial malah justru menjadi biasa saja dan cenderung membosankan karena terlalu repetitif. 



Di balik segala kekurangannya, film Elvis tetap menjadi film yang keren dari segi tata artistik, kostum, dan juga menampilkan berbagai lagu-lagu ikonik dari mendiang EP yang akan membuat orang tergila-gila pada kharismanya di atas panggung. Film ini ditutup dengan footage-footage asli sosok EP dari kejadian-kejadian yang ditampilkan di filmnya, mengakhiri kisah Elvis dengan narasi kekalahan dari sosok Colonel Parker yang berakhir sebagai antagonis di film ini, walaupun tanpa jasa-jasanya kita mungkin tak akan pernah mendapatkan sosok hebat seperti Elvis.


Comments