CERPEN: MBAH SAWAH

CERPEN: MBAH SAWAH
     

      
      Mobilku melaju cepat di sebuah jalan tol dari Jakarta menuju BSD dengan diiringi suara musik dari playlist yang telah disusun di spotify bajakan yang kusambungkan dengan kabel jack ke radio mobil, maklum mobil ayah memang sudah lama, sejak diriku SD kelas 5 hingga aku kuliah semester 6 ini. Kadang ACnya panas sampai-sampai membuat jiplakan keringat di baju abu-abu muda milik ayah setiap keluar di tempat parkir menuju ITC BSD, di momen tersebut biasanya aku selalu berkata :

 "makannya jangan pake baju abu-abu terang kalo naik mobil".

Malam itu aku baru saja pulang dari nongkrong sama teman-teman lama, ya bukan hal yang mewah sih, cuma sekedar ngopi di tempat langganan di Condet sambil motret-motret kecil dengan kamera analogku. Untuk menikmati malam yang lebih larut, aku keluar tol di Bintaro dan lanjut lewat jalan biasa agar bisa menikmati lagu-lagu di playlist sambil mengemudi sendirian. Sepanjang menit itu kudengar iringan lagu Masa Kecilku yang dibawakan oleh Payung Teduh,

Ingin ku kembali ke masa yang lalu
Bahagianya dulu waktu kecilku
Ku dengar cerita mama papa bilang
Aku lincah lucu waktu kecilku
Waktu kecilku aku suka bernyanyi

       Oh suara Bang Is bikin nostalgia ketika pertama kali nonton Payung Teduh di Jakcloth 2017, itu mungkin pertama kali dan terakhir kalinya aku menyaksikan Payung Teduh secara langsung dengan Bang Is sebagai vokalis. Di tengah sepinya jalan sekitar pukul 1 malam perutku  terasa keroncongan, aku pun mencari tukang nasi goreng yang masih buka. Mobil kuhentikan dan kemudian aku memesan seporsi nasi goreng di kawasan dekat rumah lamaku, yang dulunya jadi tempat langgananku setiap malam minggu.

       Bawang putih di geprek, kemudian ditumis dengan minyak panas, barulah telur dikocok dan dituang, sisanya? Bumbu rahasia dari setiap tukang nasi goreng jalanan yang selalu kutebak-tebak apa saja bahannya, sampai sekarang kuakui masih belum bisa kutandingi rasanya, walaupun keluargaku sepakat bahwa nasi goreng buatanku adalah yang paling enak, bahkan menang lomba 17 Agustusan se-komplek. Seorang pria tua memandangiku dengan tatapan kosong, duduk di sebuah kursi kayu panjang dan bersandar di sebuah gubuk yang biasa dipakai tukang sayur dagang di pagi hari, ya seperti itu siklusnya kalau pagi di gubuk kombinasi bambu dan triplek itu jualan sayur dan malam hari barulah gerobak nasi goreng ini mengambil alih para pembeli. Pria berumur 70an itu tidak asing sepertinya di mataku, celana hitam pendek dan kaos putih yang sudah tidak putih seutuhnya serta kepala depannya yang sudah botak kembali memberiku ingatan dari masa lalu, dia adalah Mbah Sawah.

     Kaki kecil itu berjalan terburu-buru, sesekali menengok kebelakang, ke arah pepohonan bambu, semak-semak dan sekitarnya. Usiaku sekitar 8 tahun, waktu itu ibu menyuruh mengantarkan kaleng Nissin Wafers yang bergambar beberapa wanita bahagia yang mengendarai sepeda onthel dan Astor ke rumah Mbah Sawah. Mungkin kalian bertanya-tanya kenapa namanya Mbah Sawah, aku sendiri tidak terlalu peduli siapa nama aslinya, orang-orang memanggilnya demikian karena memang rumahnya berada di samping sebuah sawah besar yang dibatasi oleh sebuah kali dengan lebar 3 meter. Lokasi rumah Mbah Sawah ini tidak jauh dari rumah lamaku yang terletak di sebuah perkampungan di Tangerang Selatan, kira-kira sekitar 300 meter. Untuk menuju rumah Mbah Sawah, aku harus melewati beberapa rumah warga, lalu melewati sebuah lubang besar tempat pembuangan sampah warga kampung, menyusuri perkebunan pisang dan beberapa pohon bambu besar, menuruni sebuah tebing yang nggak terlalu tinggi, sekitar 5 meter dengan tangga yang dibuat dari tanah yang dipacul berundak-undak, barulah bisa sampai ke rumah itu.

      Siang itu aku ketuk pintu rumah Mbah yang terbuat dari perpaduan bambu, triplek, dan dinding anyaman bambu, ya selayaknya rumah yang sering kali kita lihat di banyak acara TV seperti bedah rumah, tukar nasib dan sebagainya. Beberapa saat kemudian Mbah Sawah membukakan pintu rumahnya dan aku memberikan bingkisan tersebut sambil berkata

"Mbah ini dari ibu"

Si Mbah selalu menjawab dengan ramah

"oh iya iya, bilang ke ibumu makasih ya"

Setelahnya aku kembali pulang dengan berlari secepat kilat versi anak SD. Mbah sawah tinggal bersama dua orang anaknya, aku lupa bagaimana rupanya dan pekerjaan keduanya, yang kuingat adalah ia selalu bekerja di sawah samping rumahnya, kadang merawat kebun pisang, dan ngasih makan bebek di sekitar rumahnya.

     Sehari sebelumnya, siang itu aku bermain bersama teman-temanku di lubang pembuangan sampah dekat kebun pisang, lubang itu hanya tanah galian berdiameter 4 meter dengan dalam sekitar 2,5 meter dan tumpukan sampah rumah tangga yang di bungkus plastik. Biasanya setiap pagi Pak Wanto membakar sampah-sampah di lubang tersebut dengan disiram minyak tanah hasil uang patungan iuran kebersihan sukarela warga sekitar. Siang itu ada sebuah batang pisang besar yang dibuang disitu, batang ini lah yang kami jadikan tempat main sebagai jembatan-jembatanan.
Aku, Fahmi, Eki, dan Ricki mulai bergiliran menyebrangi jembatan itu, yang jatuh ke tumpukan sampah akan ditertawakan. Karena Fahmi dan aku lebih tua, biasanya kami menggoyang-goyangkan batang pisang itu dengan kaki untuk membuat Ricki dan Eki panik atau seburuk-buruknya adalah terjatuh. Disela tertawaan, Fahmi membuka sebuah topik dengan nada yang tiba-tiba serius.

"Eh lu kalo maen ke sawah ati-ati bego, ntar ada Boging"

Kami memperhatikan dengan serius.

"Boging apaan?" Tanyaku dengan polos

"Boging itu setan badut. Kata Bayu dia dulunya badut biasa terus pas lagi mancing di kali sawah tiba-tiba ada yang ngebunuh dia pake kelewang dari belakang, kepalanya buntung trus mayatnya dibuang ke kali. Katanya dia gentayangan disitu suka nyulik anak-anak kalo maen sendiri di deket sawah sama kebon siang-siang."

Mendengar penuturan mengenai hantu badut itu, imajinasiku melayang entah kemana, antara takut tapi akal sehatku masih waras, lantas aku bertanya

"Siapa yang ngebunuh Boging"

"Gak tau"

"Mayatnya ketemu?"

"Gak tau"

"Trus lu kata siapa ceritanya?"

"Kata Bayu, gua diceritain kemaren"

      Fahmi mendapat cerita tersebut dari Bayu. Oh iya, Bayu adalah teman kami yang paling tua, dia adalah sahabatku kala itu, ketua geng anak-anak kecil yang biasa bermain denganku. Bayu pindah sekolah dua kali saat SMP tahun pertama karena dikeluarkan, katanya ia berkelahi dengan temannya, ia biasa menjalani kehidupan sebagai anak nakal kala itu. Dia ikut tawuran, beberapa kali gonta ganti pacar, ia berkelahi dan memukuli lawannya dengan brutal, bahkan ia pernah bertengkar dengan seorang tetangganya yang ibu-ibu karena ingin membuang kucingnya. Reputasinya mungkin dikenal di sekitaran kampung dan beberapa sekolahnya sebagai anak brandal, namun ia adalah orang yang berbeda ketika bersamaku, Bayu adalah orang yang humoris, senang berpetualang denganku, dan sangat baik. Untuk seorang remaja yang disegani oleh anak-anak kecil di kampung itu Bayu masih meminta ditemani saat mandi olehku karena ia takut pergi ke kamar mandi sendiri sore hari saat tidak ada orang di rumah, ia adalah sosok sahabat baikku kala itu.

      Kembali lagi ke lubang sampah tersebut, setelahnya suasana bermain menjadi tidak asik lagi karena cerita mengenai Boging, kami akhirnya berhenti bermain dan pulang ke rumah masing-masing dengan sedikit berbau sampah.

      Ketika diriku pulang dari rumah Mbah Sawah dengan berlari secepat kilat, itu semua salah Fahmi, karena kisah tersebut jalan ke rumah Mbah Sawah berasa bagai beban bagiku yang takut akan Boging. Rumah Mbah Sawah memang jauh dari rumah-rumah warga lainnya, letaknya diapit antara sawah seluas 4-5 kmĀ², dan tebing di atasnya hanya ada jalan setapak yang melewati pepohonan karet, beberapa pohon bambu besar, dan kebun pisang, serta rerumputan yang tingginya bisa mencapai 1 meter. Suasananya sangat sepi, yang terdengar hanya hembusan angin dan suara kali terkadang bebek.

      Ibuku kerap menyuruhku mengantarkan makanan ke rumah Mbah Sawah, kadang sebulan sekali, kadang dua minggu sekali, tergantung ada lebihnya. Biasanya berupa Astor kalengan, wafer, teh, ataupun Monde kalau lebaran. Sebaliknya, Mbah Sawah suka memberikan hasil pisang dari kebun yang ia rawat, biasanya ia memberikannya dengan mencantolkan pisang yang dibungkus plastik hitam ke gerbang rumahku. Kalau ada pisang di gerbang, aku langsung tahu bahwa itu dari mbah sawah.

      Suatu hari ibuku kembali menyuruh untuk mengantarkan makanan ke rumah Mbah Sawah di siang hari, dengan setengah hati aku berusaha untuk mengantarnya, ibu tidak tahu kendala yang kuhadapi mengenai cerita setan Boging itu, ia mungkin juga tidak peduli, namun bagi seorang anak SD yang mudah untuk ditakut-takuti hal tersebut merupakan bencana besar.
Sesampainya di rumah mbah sawah aku mengetuk pintunya beberapa kali, namun kali ini tidak ada jawaban.

"Salamualaikum, mbah... Salamualaikum mbah"

Sahutku beberapa kali, namun masih tidak ada jawaban. Suasana hening menyelimuti sekitar siang itu, pikirku was-was mengenai Boging membuat mata ini melirik ke mana-mana, kening sudah mulai berkeringat, tidak ada sahutan dari dalam dan aku semakin panik karena ketakutan. Dilema hati ini adalah "masa kutinggalkan begitu saja bingkisan dari ibu di depan rumah, itu tidak sopan" atau "kalau ditinggal disini, nanti bingkisannya hilang diambil orang" namun itu semua lama-lama tidak kuhiraukan, karena 10 menit menunggu dalam kepanikan, akupun meninggalkan bingkisan itu dan lari terbirit-birit pulang ke rumah, rasanya kapok dan terus terbayang bagaimana kalau Boging selama ini mengawasiku dari balik pepohonan atau semak-semak, namun akal sehatku kembali mengambil alih dan berdalih "kok mbah sawah tinggal disini aman-aman aja dan gak pernah ketemu Boging?"
"Ah sudahlah, dia kan orang dewasa, mana ada setan menakut- nakuti orang dewasa" pikirku.

      Ketika aku bermain di sawah bersama teman-temanku, kami sering menjumpai Si Mbah sedang bekerja di sawahnya, kadang memacul sawah, atau mengarit rumput, ia pasti menyapaku ketika aku lewat, ia pasti ingat betul anak kecil yang sering membawakannya Nissin Wafer dan mengetok pintunya dikala ia istirahat tidur siang. Suatu hari, Mbah Sawah memanggil aku dan teman-teman yang sedang bermain di sekitar sawah, kamipun menghampirinya.

"Kamu mau liat ular besar nggak? Tadi anak mbah habis nangkep ular"

"Mau mbah, dimana emang?"

"Sini ikut ke rumah"

Kami mengikuti pria tua itu menuju depan rumahnya yang biasa kutunggui saat mengantar bingkisan. Benar saja, seekor ular sanca batik berukuran besar terkurung di dalam sebuah kandang dari besi, sontak kami menghujani pertanyaan ke mbah sawah dan antusias mengamati ular tersebut.

"Ini nangkepnya dimana mbah?"

"Itu di kebun belakang dekat kali"

"Dikasih makan apaan ularnya?"

"Dikasih makan ayam dia mau"

"Ayamnya dimasak dulu?"

"Ya nggak lah kan bukan manusia, langsung aja ditaro nanti dimakan"

     Lama sekali kami memperhatikan ular tersebut, terlebih aku yang gemar terhadap reptil, khususnya ular. Aku pernah bercita-cita untuk menjadi pawang ular sewaktu TK, bahkan lomba sepeda hias saat hari Kartini pun sepedaku diberi hiasan ular dari karton, berbeda dengan anak-anak lainnya. Hal tersebut mungkin didasari dua hal, pertama adalah karena aku suka tayangan TV yang menampilkan pawang-pawang hewan buas seperti Steve Irwin dan Rob Bredl, dan kedua adalah tayangan TV indosiar yang menampilkan siluman ular seperti Nyi Blorong pada waktu aku kecillah yang menginspirasiku terhadap ular. Sekitar setengah jam kemudian, aku meninggalkan rumah itu sendirian karena teman-temanku sudah pulang duluan.



     Mbah Sawah mungkin adalah salah satu petani di sekitar situ, mungkin juga ia sudah tinggal lama. Sawah besar itu merupakan salah satu sawah yang masih ada di sekitar rumah lamaku di Tangerang Selatan.

     Beberapa tahun kemudian, aku tidak pernah melihatnya lagi karena rumahku pindah ke daerah BSD, bertahun-tahun tidak berkunjung, kudengar semua telah berubah. Pemukiman semakin padat, bahkan orang-orang lama di sekitar kampung itu kalah populasinya dengan pendatang, ditambah lagi telah dibangun sebuah SMA, Rumah Susun, dan Puskesmas di tempat tersebut. Fasilitas rusun dan puskesmas tadinya dibuat untuk pengungsian korban jebolnya tanggul Situ Gintung, namun tidak ada penempatan secara besar mengakibatkan rusun ini dikomersilkan. Lobang sampah tempat kami anak-anak bermain jembatan batang pisang telah digusur dan dibuat akses jalan, pohon-pohon karet, bambu, kebun pisang, dan rerumputan besar telah menjadi perumahan, dan sawah? Ditinggalkan. Tidak ada lagi aktifitas pertanian disana, tak ada lagi yang mau menanam padi di lingkungan berkembang yang mulai padat, sawahpun berubah jadi rawa, dan kini rawa tersebut diratakan menjadi sebuah jalan tol besar. Tidak ada ketakutan anak-anak terhadap Boging lagi, mungkin cerita tersebut sudah punah dan terlupakan kecuali olehku. Lingkungan yang dulu banyak sekali kepik, capung, dan kupu-kupu perlahan beralih menjadi tumpukan debu akibat lalu lalang kendaraan.

Dan bagaimana nasib Mbah Sawah? Ia sekarang duduk melamun di depanku yang tengah memesan nasi goreng, tatapan matanya kosong, entah dia sudah pikun atau belum, namun tidak ada senyuman di wajahnya. Mbah Sawah yang kini hanya menjadi seorang "Mbah" biasa tanpa sawahnya, sawahnya sudah jadi jalan tol, apa pekerjaanmu sekarang? Termenung setiap malam kah? Tidakkah Si Mbah menikmati hari tuanya? Tidakkah dia ingat anak kecil yang sering bermain di sekitar sawah dan tempat tinggalnya?.

Kuurungkan niatku untuk makan ditempat, aku meminta nasi goreng tersebut untuk dibungkus. Setelah kerupuk dimasukkan bersama bungkusan nasi goreng ke dalam plastik, kukeluarkan 15 ribu dan kuberikan kepada koki andalanku sambil menghaturkan terima kasih. Sekali lagi aku menengok ke arah mbah sawah dan tersenyum sembari menyapa

"Mbah..."

Ia hanya terdiam, tidak menatapku sekalipun.

Aku kembali ke mobil dan meninggalkan tempatku membeli nasi goreng tersebut, meninggalkan Mbah Sawah dan kembali pulang ke rumah, sama seperti dulu, hanya saja tidak meninggalkannya bingkisan ataupun lari terbirit-birit.


THE END.

Daffa Amrullah
Cikini, 21 April 2020.



Comments